Ada 21 pasal UU Cipta Kerja yang diubah oleh Hakim Mahkamah Konsititusi atau MK. Apa saja 21 pasal yang diubah MK berdasarkan gugatan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja itu?
***
BERINTI.ID, Jakarta - Gugatan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat terkait Undang-Undang Cipta Kerja dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
MK mengabulkan permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap 21 norma Undang-Undang Cipta Kerja.
Hakim MK memutuskan untuk mencabut dan merevisi 21 pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja dalam sidang yang digelar pada Kamis, 31 Oktober 2024 kemarin.
Berikut 21 pasal UU Cipta Kerja yang diubah Hakim MK berdasarkan gugastan pemohon:
Frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, yakni Menteri Tenaga Kerja.
Pasal yang mengizinkan tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia ini bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Pasal 56 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 terkait jangka waktu pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa jangka waktu tidak melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan.
Pasal 57 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 yang mengharuskan perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk membuat perjanjian secara tertulis dalam bahasa tersebut.
Pasal yang menyebutkan "Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa "Menteri yang menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya dalam perjanjian tertulis.
Pasal yang menyatakan “Istirahat minggguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.
Kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat 5 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyebutkan “Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang memenuhi kebutuhan hidup wajar bagi pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Pasal yang menyebutkan “Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan untuk mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak ini bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai melibatkan dewan pengupahan daerah, termasuk unsur pemerintah daerah, dalam perumusan kebijakan pengupahan untuk pemerintah pusat.
Frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”.
Menyatakan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.
Frasa “indeks tertentu” dalam pasal ini diyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kecuali dimaknai sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).
Frasa “dalam keadaan tertentu” dalam pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh perusahaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan”.
Pasal yang menyatakan “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas” bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
Menyatakan bahwa pasal yang menyebutkan “Hak lainnya dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan” ini bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal ini juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa hak tersebut didahulukan atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Menyatakan bahwa pasal yang menyebutkan “Dewan pengupahan dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau daerah dalam perumusan kebijakan dan pengembangan sistem pengupahan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa dewan pengupahan harus berpartisipasi secara aktif.
Frasa “Wajib dilakukan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” dalam pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk melaksanakan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.
Frasa "Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial" dalam pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Frasa 'dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya" dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHIPPHI."
Frasa "diberikan dengan ketentuan sebagai berikut" pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 angka 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'paling sedikit.