23 Januari 1942 menjadi bahan bakar perjuangan rakyat melawan imperialisme Belanda. Keberhasilan Gorontalo mengusir Belanda turut diikuti wilayah-wilayah lain. Di Gorontalo peristiwa ini sering diperingati sebagai Hari Patriotik.
***
BERINTI.ID, Gorontalo - Tanggal 23 Januari dikenal dengan Hari Patriotik bagi warga Gorontalo. Pada umumnya Hari Patriotik di Gorontalo diperingati dengan upacara penaikan bendera merah putih dan pembacaan teks proklamasi versi Gorontalo.
Hari Patriotik berlatar belakang perjuangan Rakyat Gorontalo melawan Belanda pada tahun 1942. Tepat tanggal 23 Januari 1942, rakyat Gorontalo berhasil menggembosi kekuasaan Belanda dan terbebas dari tekanan imperialisme Belanda.
Kudeta berbasis kedaerahan di Gorontalo dipimpin oleh tokoh sentral bernama Nani Wartabone, dibantu beberapa tokoh penting di belakangnya seperti Kusno Danupoyo, dan Pendang Kalengkongan. Rakyat juga memiliki peran sentral.
Tanpa pertumpahan darah, tanpa korban jiwa, pejabat-pejabat Belanda ditangkap. Usai penangkapan, Nani Wartabone memimpin pengibaran bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya. Nani Wartabone kemudian membacakan proklamasi yang disambut pekik semangat rakyat.
Pada bulan Januari tahun 1942, Belanda tengah berada diambang kehancuran. Kekacauan Perang Dunia II membuat Belanda makin kehilangan kendali kuasanya di Gorontalo. Belanda dibuat pusing seiring masuknya pasukan Jepang ke Minahasa pada 11 Januari 1942.
Dikutip dari buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi utara, Belanda membentuk pasukan penghancur atau Vernielings Corps (VC) sebelum kekuasaan mereka benar-benar jatuh. Vernielings Corps ditugaskan untuk membumihanguskan segala aset Belanda yang ada di Gorontalo. Adapun aset yang disasar seperti irigasi, pelabuhan, dan infrastruktur.
Vernielings Corps menghancurkan gudang kopra dan gudang minyak di pelabuhan Gorontalo. Kejadian itu memicu reaksi dari tokoh masyarakat Gorontalo. Kusno Danupoyo memimpin rapat pembentukan Komite 12. Rapat berlangsung di kediaman Kusno di Ipilo pada tanggal 15 Januari 1942. Nani Wartabone ditunjuk sebagai ketua komite yang bertugas menjaga dan melindungi keselamatan rakyat.
Di kutip dari buku 23 Januari dan Nasionalisme Nani Wartabone, Nani Wartabone berangkat ke Kota Gorontalo untuk menemui pejabata Belanda setelah peristiwa itu. Nani Wartabone mengancam akan memenggal kepala mereka jika tindakan itu tidak dihentikan. Selanjutnya, Nani Wartabone bersama anggota Komite 12 menjaga tempat-tempat vital lainnya agar tidak dihancurkan Belanda. Belanda balas mengancam, tapi Nani Wartabone tak gentar sama sekali.
Pada 22 Januari, Nani, Kusno, dan tokoh-tokoh pejuang bersiap melakukan kudeta terhadap kekuasaan Belanda. Ratusan rakyat yang tergabung dalam anggota Hulunga dikumpulkan, sementara Pendang Kalengkongan dan Ardani Ali berhasil menguasai tangsi polisi.
Ketua: Nani Wartabone
Wakif Ketua: Kusno Danupoyo
Sekertaris I: M.H. Buluati
Sekertaris II: AR. Ointu
Anggota: Usman Monoarfa, Usman Hadju, Usman Tumu, AG. Usu, M. Sugondo, A.M. Dhanuwatijo, Sagaf Alhasni, Hasan Badjeber.
Pada malam 22 Januari 1942, Nani dan 300 lebih warga yang dihimpun dalam anggota Hulunga berkumpul di lapangan Boludawa, Bone Bolango. Jarak 11 Kilometer dari Suwawa ke Kota Gorontalo mereka tempuh berjalan kaki.
Kudeta dilakukan dengan cara menangkapi satu per satu pejabat Belanda. Mula-mula pasukan yang dipimpin Nani Wartabone dan Kusno Danupoyo menangkap Kepala Polisi Belanda. Nyaris terjadi baku tembak sebelum Kepala Polisi itu menyerahkan diri.
“Markas dan tangi polisi telah dikuasai rakyat. Sebaiknya tuan menyerah saja.” Begitu kata Nani Wartabone dalam buku 23 Januari dan Nasionalisme Nani Wartabone.
Penangkapan berlanjut ke kediaman Kontrolir Belanda, Tuan Petrus, Tuan Lamuqo. Tanpa perlawanan ketiganya diamankan sebelum disatukan ke dalam penjara. Peristiwa penangkapan ini berhasil menggulingkan pemerintahan Belanda di daerah Gorontalo.
Paginya, atau tanggal 23 Januari 1942, Nani Wartabone memimpin rakyat menaikkan bendera merah putih untuk pertama kalinya di Gorontalo. Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya di hadapan rakyat Gorontalo, tepatnya di lapangan tenis Gorontalo (di muka rumah Asisten Residen).
Seusai mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, Nani Wartabone berpidato:
“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah meredeka, bebas, lepas, dari penjajahan bangsa manapun juga. Bender akita adalah merah putih, lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Pemerintah Belanda telah diambil alih oleh Pemerintah Nasional.
Nani Wartabone memimpin Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG). PPPG hanya berlangsung selama kurang lebih 6 bulan sebelum diambil alih oleh Jepang yang masuk ke Gorontalo pada bulan Juni 1942. Hubungan PPPG dan Jepang awalnya baik-baik saja. Namun, Jepang justru menampakkan jiwa penjajah yang membuat Nani Wartabone dan tokoh-tokoh pejuang kembali melawan.
Nani Wartabone: Komandan Komando PPPG
J.A Pendang Kalengkongan: Wakil Komando PPPG
R. M. Kusno Dhanupojo/ Kusno Danupoyo: Bagian Sipil
AB. Dauhan: Pembantu.
Yakub M. Kau
Pura pura penulis.