TikTok Logo X Logo
Logo
Life Style

4 Golongan Social Smoker dan Dilema Pertemanan di Tongkrongan: Menyebalkan, tapi Pertemanan Lebih Penting

$detailB['caption'] Ilustrasi perokok (Istimewa)

Menjadi social smoker itu tidak mudah. Kita yang berstatus social smoker bukan cuma menghadapi ancaman kesehatan dan ekonomi, tapi juga harus menghadapi dilema pertemanan di tongkrongan. 

***

BERINTI.ID, Gorontalo - Saya menjadi perokok atau social smoker sejak kelas 3 SD. Lebih tepatnya, wawahea atau terkontaminasi teman sekelas. Tidak apa-apa walau harus patungan beli rokok ketengan, asal bisa terlihat dewasa dan perkasa sebelum waktunya saat berasap ria di belakang sekolah. Naik kelas 5, saya mengambil keputusan penting dalam hidup; berhenti merokok. 

Ada tiga alasan utama mengapa saya berhenti merokok waktu itu. Pertama, rasanya untuk terlihat dewasa dan perkasa masih bisa dilakukan tanpa asap rokok. Kedua, uang jajan seuprit dari orang tua wajib diirit-irit. Ketiga, ada stigma bahwa cowok tanpa asap rokok itu  OP atau Over Pesona dan mudah ditaksir teman cewek. Bahkan untuk menjaga kewarasan, saya ikut komunitas bernama RUSAK (RUmpun SiswA anti rokoK) di SMA.

Memang benar cowok tanpa asap rokok over pesona itu mudah ditaksir teman cewek. Di SMA saya punya pacar, yang alasan utamanya menerima saya karena tidak merokok. Sayangnya kisah kami hanya sebentar. Bak sebatang Marlboro yang dibiarkan menganggur lama di asbak, hubungan kami juga kandas karena diem-dieman lama.

Patah hati lantas mengubah prinsip hidup saya yang sudah belasan tahun terjaga. Citra saya di komunitas RUSAK, rusak pula ketika satu batang rokok tercantol di tangan biar tetap terlihat laki-laki perkasa. Apa itu patah hati?

Ternyata keputusan saya salah karena ada yang lebih menyebalkan dari patah hati. Saya baru tahu kalau perokok atau social smoker punya empat golongan yang bikin elus dada di tongkrongan. 

Golongan pertama mereka yang punya rokok dan korek. Golongan kedua mereka yang punya rokok tanpa korek, atau sebaliknya. Golongan ketiga mereka yang cuma modal mulut dan paru-paru. Golongan keempat, mereka yang cuma modal mulut dan paru-paru, tapi tukang curi korek.

Ada dilema besar ketika bertemu empat golongan ini di tongkrongan. Saya seperti berada di persimpangan rokok dan teman. Namun, mau tidak mau perasaan itu harus dan wajib dijalani. Cukup kehilangan pacar, tapi jangan kehilangan teman. 

1. Golongan pertama: punya rokok, punya korek

Citra perokok golongan pertama memang positif kalau di tongkrongan. Selain murah hati membagi rokok, mereka juga ikhlas kehilangan korek.

Namun, ada juga yang menyebalkan dari mereka ini karena suka mencaplok hak milik korek api orang lain di tongkrongan. Bukan mencuri, ya. Andai hak milik korek api terdaftar di Dirjen Kekayaan Intelektual mungkin orang-orang seperti ini bisa dipidanakan.

2. Golongan kedua: punya salah satunya

Rokok dan korek bak dwitunggal yang sulit terpisahkan bagi perokok. Namun sudah menjadi keniscayaan bahwa ketika di tongkrongan ada saja orang yang hanya membawa atau punya satu di antaranya, entah itu rokok atau korek. Lalu menyebalkannya di mana? 

Kalau kita renungkan potensi menyebalkannya setipis tisu. Cuma, justru karena setipis tisu tadi, salah satunya, entah rokok atau korek tadi akan menemukan pasangannya yang baru. Kalau Anda menggerutu atau tersenyum sinis, itu tandanya Anda paham apa maksud saya.

3. Golongan ketiga: modal mulut dan paru-paru

Jika golongan kedua hanya datang membawa rokok atau korek, golongan ketiga datang dengan modal mulut dan paru-paru alias tangan kosong. Golongan ini biasanya terbagi dua lagi: si sapu bahu dan si sapu rata.

Si sapu bahu selalu sopan sebelum melenyapkan rokok teman. Contoh, sapu bahu teman dulu sambil melempar basa basi berbau koprol: "Bagaimana kabarnya hari ini ketua/abangku? Rokok dulu!"   

Kemudian si sapu rata. Si sapu rata ini paling aktif. Ceritanya belum habis, sudah habis berbatang-batang. Syukur-syukur kalau rokok habis mau keluarin modal untuk patungan, tapi ini malah pindah ke bungkus sebelah.

4. Golongan keempat: Curanrek 

Yang keempat ini porsi menyebalkannya besar sekali, lebih menyebalkan dari golongan ketiga. Sudah tidak punya rokok, tidak punya korek, tahu-tahu korek kita hilang. Mau korek semahal apapun, sebagus apapun, mau dijaga seketat apapun kalau lupa posisi pasti pindah saku, dan menyisakan penyesalan.

Apakah mereka tidak pernah baca berita soal kuli bangunan yang dibunuh rekannya hanya karena lupa kembalikan korek, atau mahasiswa yang dikeroyok hanya karena perkara Curanrek? 

Mereka tetap teman saya

Seperti saya bilang di awal: cukup kehilangan pacar, tapi jangan kehilangan teman. Sekalipun menyabalkan di tongkrongan, setidaknya mereka tidak merugikan dalam situasi dan hal-hal lain. Justru yang menyebalkan itu membuat pertemanan kami lebih kuat, awet, baik di tongkrongan maupun di tempat lain. Apa artinya kehabisan rokok dan kehilangan korek di tongkrongan kalau sudah bicara pertemanan? Ya, kan?

Setidaknya tindak tanduk mereka juga tidak semenyebalkan orang yang bikin berita penyakit akibat rokok tidak ditanggung BPJS. Sekitar 70 juta perokok di Indonesia nyaris 'sakau' nasional gara-gara informasi sesat itu.

Begitulah salah satu sisi kehidupan seorang social smoker, yang menurut saya jarang atau tidak dimiliki pria baik-baik. Setelah membaca ulasan ini, patutnya kita bermuhasabah: kira-kira saya atau Anda masuk golongan yang mana?


Mau dapatkan informasi terbaru yang menarik dari kami? Ikut WhatsApp Channel Berinti.id. Klik disini untuk gabung.

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp