TikTok Logo X Logo
Logo
Life Style

5 Keresahan Saya Selama Hidup di Kabupaten Gorontalo: Bukan Curhat, tapi Realita

$detailB['caption'] Menara keagungan dan Masjid Agung Baiturrahman Limboto, Kabupaten Gorontalo (Lecka)

“Saya lahir Kabupaten Gorontalo dan sampai umur 33 tahun masih di sini. Namun puluhan tahun jadi orang Kabupaten Gorontalo ternyata cukup meresahkan.”

***

BERINTI.ID, Kabupaten Gorontalo - Pernyataan itu mungkin tidak mewakili semua orang Kabupaten Gorontalo. Sabar, tahan dulu protesnya. Sebagai orang yang sudah 33 tahun hidup di sini, saya bisa mempertanggungjawabkan pernyataan tadi.

Kabupaten Gorontalo adalah si sulung di antara enam bersaudara dalam rumah besar bernama Provinsi Gorontalo. Usianya 351 tahun, kaya akan budaya, sejarah, potensi wisata, infrastruktur, dan fasilitas umum.

Namun, buat saya, semua itu masih sebatas pajangan tanpa nyawa. Bukan sesuatu yang bikin bangga, apalagi bikin betah. Justru di balik usia yang panjang dan potensi (katanya) besar, ada keresahan-keresahan yang selama ini sering diabaikan. Sini saya jelasin satu per satu.

1.Ketergantungan ekonomi di Kota Gorontalo

Kabupaten Gorontalo punya adik pertama: Kota Gorontalo. Meski terpaut usia jauh, dinamika ekonomi justru berpusat di kota. Mobilitas warga lebih banyak ke Kota Gorontalo ketimbang sebaliknya.

Saya sudah lama merasakan keanehan ini. Mau cari barang elektronik, baju lebaran, sampai aksesoris motor harus ke kota. Hampir semuanya di sana.

Kabupaten Gorontalo sebenarnya dulu punya shopping center yang cukup membanggakan. Tapi kejayaannya memudar. Yang dulunya jadi jantung ekonomi warga, lama-lama cuma jadi tempat kencan anak muda pas-pasan. Saya salah satunya.

Setelah terbakar pada 2018, tempat itu disulap menjadi Pasar Modern Limboto (Pasmolim). Itu juga belum sanggup menyaingi dominasi kota.

Ada juga Limboto Plaza, mal pertama di Gorontalo yang dulu ramai meski hanya jadi tempat belajar naik eskalator. Kini hanya bangunan tua yang terlupakan. Bekasnya diubah menjadi RSUD Hasri Ainun Habibie.

Lucunya, Kota Gorontalo melakukan hal sebaliknya: mengubah rumah sakit menjadi mal dan berhasil. Mal itu kini jadi daya tarik utama, bukan hanya bagi warga kota, tapi juga dari kabupaten.

2.Wisata ada, tapi tak menggoda

Soal wisata? Jawabannya tergantung kebutuhan. Mau pemandangan alam instagramable? Ada Villa Desaku Molowahu atau Aryan by Kadena Biluhu. Mau yang bernuansa sejarah dan religi? Ada Menara Keagungan Limboto, Masjid Agung Baiturrahman, atau Masjid Kubah Emas Bongo.

Dalam komputer Dinas Pariwisata, masih ada daftar panjang potensi wisata yang tersimpan rapi. Misalnya Pentadio Resort, Danau Limboto, Puncak Dulamayo, Air Terjun Bondula, hingga arung jeram Bihe.

Namun, sejujurnya, satu pun belum bisa dikatakan “ikon” yang membuat warganya atau wisatawan luar merasa “harus datang” ke sana. Buktinya? Sampai Oktober 2024, pendapatan sektor pariwisata daerah ini baru menyentuh Rp400 juta—jauh dari target Rp1,7 miliar.

Maaf kalau sedikit sinis. Namun, seperti kata pepatah, pariwisata di sini mati enggan, hidup pun susah. Saking minimnya destinasi yang oke, ruas jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR) saja jadi tempat wisata dadakan.

Tinggal di daerah ini rasanya cuma buat merenungi hidup yang melelahkan, terus menerus. Sementara bagi wisatawan, Kabupaten Gorontalo ibarat rest area: cuma jadi tempat singgah sebentar sebelum lanjut ke tujuan utama.

3.Event yang gagal dirawat

Event adalah cara paling cepat untuk menarik atensi publik. Sayangnya, di Kabupaten Gorontalo, event ibarat kembang api dadakan: ramai sesaat, lalu menghilang.
Festival Danau Limboto mungkin satu-satunya yang masih bisa diandalkan. Itu pun belum cukup kuat jadi “jurus pemanggil” wisatawan luar. 

Ada juga Festival Apangi dan Festival Tutulu (Gebyar Cucur), tapi branding-nya belum terbangun. Belum ada narasi khas yang bikin orang penasaran datang.

Event Ramadan seperti Pasar Senggol dan Tumbilotohe juga mulai kehilangan daya tarik. Pasar senggol tersenggol oleh keranjang kuning. Tumbilotohe yang dulu sakral, kini redup di tengah cahaya LED.

Kadang saya berpikir: apa semua ini karena kita kurang bangga? Atau memang sudah pasrah jadi penonton di kampung sendiri?

4.Minim identitas, padahal punya warisan besar

Sebagai daerah tertua di provinsi ini, Kabupaten Gorontalo sebenarnya punya peluang besar untuk membentuk identitas dari akar budaya, kerajaan, sejarah, maupun keislaman.

Bayangkan di Kabupaten Gorontalo ada Festival Kerajaan yang mengangkat sejarah kerajaan Limutu dengan parade adat, prosesi pelantikan simbolik raja, pertunjukan seni klasik Gorontalo, kuliner khas kerajaan, dan terpusat di Danau Limboto.

Festival seperti ini tidak hanya menarik bagi wisatawan lokal, tapi bisa menyedot perhatian nasional. Bahkan bisa jadi branding kuat yang hanya dimiliki kabupaten ini.

Masalahnya, semua itu belum benar-benar dirancang. Mungkin saja sudah, tapi mentok di program kerja saja. Itulah mengapa selama 351 tahun berdiri, saya merasa Kabupaten Gorontalo belum bisa menjawab pertanyaan paling sederhana: Kabupaten Gorontalo mau dikenal karena apa? Cuma menaranya saja? Sekali lagi, maaf.

5.Harapan yang selalu kalah dengan kenyataan

Dua pekan terakhir, Car Free Day (CFD) kembali digelar setelah lama vakum. Jalanan ramai, warga berbondong datang. Ada yang jogging hingga numpang update story.

Mungkin ini isyarat bahwa kabupaten ini mulai menggeliat, mulai ingin menunjukkan jati diri sebagai “Gudang atlet” seperti yang sering disebut-sebut belakangan ini. 

Namun, saya tidak bisa langsung optimis. Karena tanpa kesinambungan, semua itu hanya gagasan yang gagal dirawat.

Saya masih berharap daerah ini bisa berubah. Bukan untuk dilihat, tapi untuk ditinggali dengan rasa memiliki.


Mau dapatkan informasi terbaru yang menarik dari kami? Ikut WhatsApp Channel Berinti.id. Klik disini untuk gabung.

Foto Profil

Yakub M. Kau

Pura pura penulis.

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp