TikTok Logo X Logo
Logo
Nusantara

AJI: Ada 73 Kasus Kekerasan pada Jurnalis Tahun 2024, Pelakunya Didominasi Polisi

$detailB['caption'] AJI mencatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang tahun 2024 (Istimewa)

Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dunia jurnalistik di Indonesia masih kelam. Kekerasan terhadap jurnalistik masih terus berlangsung sepanjang tahun 2024.

***

BERINTI.ID, Gorontalo - AJI mencatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang tahun 2024.

Kekerasan fisik paling banyak dialami jurnalis selama di lapangan.

Kasus serupa bahkan ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Selain kekerasan fisik, kasus pengrusakan alat atau penghapusan data juga masih sering dialami jurnalis saat bertugas.

Seperti yang terjadi di Gorontalo Hp jurnalis RTV dirusak salah satu perwira polisi saat meliput demo.

Polisi dominasi pelaku kekerasan

Dalam laporannya, AJI juga mencatat 10 lembaga yang menjadi pelaku kekerasa terhadap jurnalis.

Polisi menjadi lembaga terbanyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

Sepanjang 2024, AJI mencatat ada 19 kasus kekerasa yang dialami jurnalis dengan pelakunya polisi.

Selanjutnya TNI dan organisasi masyarakat 11 kasus.

Kesejahteraan jurnalis terancam

Dalam laporannya, AJI tak cuma menyoroti aksis kekerasan terhadap jurnalis.

Masalah PHK yang dialami pekerja media online maupun cetak juga disorot. 

AJI menilai terjadi pengingkaran UU Ketenagakerjaan.

Banyak perusahaan media yang masih mengingkari Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan hanya memanfaatkan jurnalis dengan kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 

Selain itu, kasus pemberian gaji tidak sesuai regulasi dan pemotongan gaji sepihak juga masih terjadi.

Praktik swasensor juga menjadi ancaman bagi kemandirian jurnalis. 

Banyak perusahaan media yang lebih memilih untuk merapatkan barisan dengan penguasa daripada mempertahankan independensi mereka. 

Hal ini terjadi ketika pemilik media memilih untuk membatasi liputan kritis tentang isu-isu tertentu, seperti lingkungan.

Indonesia masih memiliki peringkat yang rendah dalam hal kebebasan pers. 

Menurut laporan Reporters Without Borders, Indonesia menempati posisi ke-111 dengan skor 51,15. Skor ini ditentukan oleh lima indikator, yaitu politik, ekonomi, kerangka hukum, sosial, dan keamanan.

Situasi politik saat ini sangat krusial bagi kebebasan pers Indonesia. 

Janji-janji terkait kebebasan pers yang dibuat oleh Presiden Jokowi belum juga terpenuhi. 

Pencegahan liputan penekanan aksi separatis di Papua juga menyumbang nilai negatif untuk indikator politik.

Indikator ekonomi juga mendapatkan skor yang rendah, yaitu 33,46. 

Pandemi Covid-19 masih meninggalkan bekas dengan banyaknya jurnalis yang di-PHK. 

Selain itu, media online dinilai mengalami kekurangan iklan hingga standar jurnalistiknya belum berkembang lebih baik.

Dalam laporan tersebut, juga disebutkan bahwa keberadaan UU ITE yang dinilai tak terdefinisi dengan jelas menjadi salah satu yang memengaruhi skor kerangka hukum di Indonesia.

Aturan yang disebut untuk mengantisipasi berita palsu tersebut, justru tidak tepat guna karena mengancam keberadaan jurnalisme investigasi.

Pengaruh agama dan budaya juga seakan memberi batasan pada jurnalis untuk tidak menulis hal yang “tabu”. 

Hal yang dimaksud dalam laporan ini adalah LGBT, pernikahan dini, maupun aturan lain yang melanggar moralitas.

Dalam hal keamanan, Indonesia memperoleh skor yang relatif tinggi, yaitu 77,98. 

Akan tetapi, laporan ini sejalan dengan laporan AJI yang menyebut bahwa sejumlah kasus menyeret jurnalis pada posisi rentan memperoleh bentuk intimidasi hingga kekerasan fisik.


Mau dapatkan informasi terbaru yang menarik dari kami? Ikut WhatsApp Channel Berinti.id. Klik disini untuk gabung.

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp