BERINTI.ID, Gorontalo - Tahun 2019, kawan-kawan saya dari Sulawesi Selatan datang menginap di rumah. Selama seminggu mereka tinggal dalam rangka mengikuti tes CPNS. Sebelumnya, seorang kawan meminta saya mencarikan kos buat mereka. Namun, demi menghemat pengeluaran mereka selama di Gorontalo hal itu saya tolak.
Sejak mereka datang, pelan-pelan penghuni sebelumnya, kesunyian minggat. Kawan-kawan saya di komunitas jadi sering berkunjung. Aktivitas di rumah selalu ramai tiap malam. Ini membuat ji dari Selatan dan ju dari Gorontalo menjadi semakin akrab.
Hingga suatu malam, seorang kawan dari Pare-Pare bernama Nofi melontarkan sebuah pertanyaan: apa arti dari kata nanawau? Sejak awal kedatangannya hingga bertemu kami kata tersebut selalu mengekor di telinganya. Kami mendadak bisu, hanya bisa jual beli pandangan.
“Nanawau itu bentuk keheranan orang Gorontalo!” jawab saya dengan sedikit spekol (spekulasi).
“Terhadap apa?” tanya Nofi lagi.
“Hal yang dianggap sulit, aneh, atau tak lazim.”
Tidak lama setelah itu Nofi dan teman-temannya pamit istirahat. Bukannya tenang, saya malah tak habis pikir kalau pertanyaan Nofi ibarat lontaran jumrah. Identitas kami sebagai orang Gorontalo sampai lari terbirit-birit. Itu baru kata nanawau. Bagaimana kalau diminta menerjemahkan selamat ulang tahun, semoga langgeng, dan kompak selalu ke dalam bahasa Gorontalo?
Saya kemudian membuka Kamus Bahasa Gorontalo-Indonesia yang ditulis Mansoer Pateda di ponsel. Dari situ saya temukan arti kata nanawau ternyata aduh. Keresahan saya berganti senyum konyol. Seandainya Nofi membaca kamus yang sama mungkin dia akan bilang begini: “Apa ji. Kau orang Gorontalo baru 'dan' tidak tau artinya nanawau? Aduh!”
Kejadian itu menyeret saya ke ruang perenungan: apakah sedang terjadi kesenjangan antara bahasa Gorontalo dengan penuturnya? Jika benar, apakah nanti penggunaan bahasa Gorontalo tetap menjadi kebutuhan atau justru menemui kebuntuan? Barangkali terlalu naif jika saya bertanya demikian. Namun, bukan karena satu kejadian tadi. Ada alasan lain mengapa pertanyaan-pertanyaan ini muncul.
Pertama, saya cemburu melihat para perantau seperti Nofi dan yang lain. Mengapa? Meski tidak saling kenal sebelumnya, tetapi bisa sangat intim saat mengobrol. Itu karena bahasa daerah. Sesuatu yang mulai sulit saya temukan ketika berada di tengah kawanan tawu lo Hulondalo.
Kedua, saya sering bertanya mengapa anak-anak di Jawa sudah fasih berbahasa Jawa baik dengan sebaya maupun dengan orang dewasa? Sangat kontras dengan anak-anak di sini. Untuk mendengar mereka ber-hulo-hulondalo ibarat menanti pelangi di musim kemarau. Sangat sulit sekali.
Generasi yang katanya penjaga, penerus, dan pelestari bahasa Gorontalo tampak layu sebelum waktunya. Kenyataan di lapangan menyimpan banyak contoh tentang ini. Misalnya soal kosakata impor. Mongowutato waw mongodulaa diganti dengan hallo guys. Bahkan umpatan pun harus impor (silakan contohkan sendiri).
Ketiga, saya masih ingat pernah ditugaskan membaca terjemahan Al-Quran berbahasa Gorontalo waktu SMP. Saya disuruh mencari sendiri penerjemah. Saat yang lain mulai sibuk latihan, saya masih sibuk bertamu dari rumah ke rumah para sesepuh, yang bukan saja sulit diajak ketemu, tapi sukar ditelaah perkataannya.
Tiba hari penampilan, saya mendapat sambutan penonton di luar dugaan. Bukan, bukan rasa bangga melainkan bahasa Gorontalo malah terdengar menggelikan di telinga mereka. Apalagi saat kalimat tutuliyo tutu Allahutaala ta laba tutu udaa dibacakan. Semua tertawa, berteriak, bahkan meledek. Berbeda dengan dua bahasa sebelumnya: Indonesia dan Inggris. Semua bertepuk tangan. Puji-pujian dan decak kagum tumbuh menjadi keinginan belajar bahasa Inggris di benak para murid dan orang tua.
Prof. Sayama Malabar pernah mengatakan bahwa bahasa Gorontalo tengah dihadapkan dengan fenomena negatif. Fenomena negatif timbul akibat pengaruh globalisasi, yang mengarah ke monolingualisme, kawin silang atau campur antaretnis, migrasi dan mobilitas tinggi, dan pergaulan antardaerah.
Pertama, banyak orang Gorontalo dengan bangga memperlihatkan kemahirannya berbahasa asing walaupun tidak menguasai bahasa Gorontalo. Kedua, ada orang Gorontalo yang malu tidak bisa menguasai bahasa asing, tapi tidak malu apabila tidak menguasai bahasa Gorontalo. Ketiga, banyak yang menganggap remeh bahasa Gorontalo dan tidak mau mempelajarinya karena merasa telah menguasainya dengan baik padahal apa adanya.
Ketiga alasan tadi bisa jadi contoh kecil dari fenomena ini. Walau begitu, semua tampak baik-baik saja. Tidak ada salahnya mempelajari bahasa asing. Kehadiran tempat kursus bahasa asing baik daring maupun luring juga harus diakui. Masalahnya jadi tidak fair ketika tempat belajar bahasa Gorontalo justru tidak ada. Sementara lingkungan dan keluarga yang selama ini telah menjadi sekolah pertama untuk belajar bahasa Gorontalo sedang di bawah pengaruh globalisasi.
Padahal zaman saya SD, bahasa Gorontalo pernah diajarkan di sekolah meski hanya sebentar. Bahkan mundur jauh ke tahun 1958, salah satu tokoh Gorontalo, H.B Jassin pernah mengajar bahasa Gorontalo di kampus. Sayangnya, itu hanya dilakukan di kampus Yale University, Amerika Serikat.
Memang saat ini bahasa Gorontalo masih berstatus aman. Hanya zamannya sudah beda. Sekarang tidak ada lagi lomba pidato bahasa Gorontalo. Sekarang para khatib tidak lagi membawakan khotbah berbahasa Gorontalo setiap kali naik mimbar. Sekarang bahasa Gorontalo cuma tersembunyi di gedung-gedung instansi pemerintah. Orang tua zaman sekarang jarang mohulondalo di rumah. Bahkan generasi yang katanya milenial kesulitan menggunakan bahasanya sendiri kecuali saat dituntut profesi.
Saya teringat komentar seorang kawan ketika membahas tema yang sama di salah satu warkop, di Limboto. Mungkin hanya di desa-desa terpencil saja bahasa Gorontalo benar-benar dipakai dan dimaknai sebagai simbol, identitas, atau produk budaya. Namun, apa jadinya andaikan desa-desa ini semakin marak dirasuki beberapa faktor tadi?
Selain itu, mungkin hanya di mulut generasi senja bahasa Gorontalo diakui sebagai sejarah manusia. Itu pun mereka sedang dipaksa memaklumi tantangan baru yaitu modernisasi. Di tengah modernisasi orang Gorontalo sering berlebihan menunjukkan sikap inferior dalam menggunakan bahasanya sendiri. Sehingga jangan tanya di mana orang sekarang lebih merasa superior tampil terlalu asing, amat asing, hingga hiper asing. Saking asingnya, muncul kata-kata asing yang tidak ada di kamus manapun. Misalnya “sehingganya” dan “karenanya”.
Sebab itu, saya tidak ingin bicara lagi soal tempat kursus, tidak akan lagi bicara soal upaya pemertahanan jatidiri daerah, dan penyuluhan untuk membangkitkan kesadaran ini-itu. Dalam skala kecil mungkin semua itu berguna dan merupakan langkah yang oke-oke saja. Namun, soal efektivitasnya belum tentu oke, pasti hanya sebentar, dan bersifat formalitas. Saya, yang cuma “sedikit-sedikit” bisa bahasa Gorontalo, cuma ingin melakukan satu hal. Saya akan menunggu. Menunggu hingga generasi yang punya identitas zamannya sendiri muncul. Mungkin saat itu bahasa Gorontalo masih jadi jembatan antargenerasi. Namun, bisa jadi, saat itu bahasa Gorontalo sedang menanti kepunahannya, dan generasi-generasi senja diminta untuk menyelamatkannya. Entahlah!
Tulisan ini telah tayang di rubrik Persepsi Kantor Bahasa Gorontalo pada 3 Desember 2022 dengan judl Tinggal Menunggu Saja.
Yakub M. Kau
Pura pura penulis.
Human Interest Story