TikTok Logo X Logo
Logo
Nusantara

Berkaca dari Najwa Shihab, Perempuan Jadi Korban Ujaran Kebencian Selama Pemilu 2024

$detailB['caption'] Perempuan banyak menjadi korban ujaran kebencian selama Pemilu 2024 (Istimewa)

Najwa Shihab dan perempuan di Indonesia nyatanya masih sulit mengemukakan pendapat di media sosial. SAFEnet mencatat jumlah perempuan yang menjadi korban ujaran kebencian di media sosial selama Pemilu 2024 cukup tinggi.

***

BERINTI.ID, Gorontalo - Najwa Shihab baru-baru ini menjadi bulan-bulanan ujaran kebencian netizen di media sosial.

Semua bermula saat Najwa Shihab menyentil Jokowi yang pulang ke Solo naik pesawat kenegaraan pada 20 Oktober lalu.

Saat itu Najwa Shihab yang sedang melakukan siaran langsung bilang Jokowi nebeng pesawa TNI AU pulang ke solo.

Video siaran langsung Najwa Shihab kemudian dipotong dan menjadi bulan-bulanan netizen.

Komentar berbau ujaran kebencian sampai melecehkan berhamburan di media sosial menyudutkan Najwa Shihab.

Perempuan sasaran empuk ujaran kebencian

Kasus yang menerpa Najwa Shihab bukan yang pertama, terutama dalam situasi Pemilu atau Pilkada 2024.

SAFEnet dalam laporannya menemukan 65 konten mengandung ujaran kebencian dan abusive languange (bahasa kasar) yang menyasar kelompok rentan, termasuk perempuan.

Ini terjadi selama Pemilihan Umum 2024 yang dikumpulkan dari bulan September 2023 sampai Februari 2024.

Dalam laporannya, SAFEnet mencatat persentase ujaran kebencian dan bahasa kasar yang menyasar perempuan sebesar 48,3 persen.

Komentar-komentar tersebut mendiskreditkan perempuan berdasarkan tampilan fisik, kemapuan intelektual, dan peran sosial

“Dalam konteks pemilihan presiden, banyak dari serangan ini juga berusaha untuk mempolitisasi tubuh dan pilihan perempuan, menunjukkan bagaimana gender dan politik sering kali saling terkait dalam diskursus publik,” tulis SAFEnet.

D urutan kedua ada kelompok LGBT yang banyak mendapatkan serangan yang sama di media sosial.

Total ada 29 persen kasus yang menyarasar kaum LGBT melalui kata-kata 'tidak alami', 'tidak bermoral', atau sebagai ancaman.

Selanjutnya ada kelompok Syi'ah dan Ahmadiah (13,8%), etnis Tionghoa (12,9%), dan komunitas Rohingya (9,6%).

Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum bilang jika riset ini dilakukan karena ujaran kebencian di media sosial memicu polarisasi di masyarakat.

Disini perlu akuntabilitas platform untuk menekan konten-konten serupa. Tidak hanya ditangguhkan, tetapi harus diatur lebih rinci mulai dari durasi sampai jenis konten.

Tujuannya adalah menjadikan media sosial sebagai wadah kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap kelompok rentan yang aman, inklusif, dan demokratis.

Baca laporan lengkapnya disini.

 


Foto Profil

Husnul Puhi

Berawal dari semangat menyuarakan kebenaran, Husnul Puhi terjun ke dunia jurnalistik sejak 2022 dan pernah berkarier di media nasional yang membentuk perspektifnya dalam menyampaikan informasi dan memperkuat tekadnya menjadi suara bagi publik.

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp