TikTok Logo X Logo
Logo
Life Style

Bulan Bung Karno: Saatnya Kembali Membaca Gagasan Besar Sang Proklamator

$detailB['caption'] Ilustrasi Foto: berinti.id

Tulisan ini disiapkan secara khusus untuk memperingati Haul Bung Karno, yang dilaksanakan pada 15 Juni di Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Provinsi Gorontalo. Momentum ini bukan sekadar penghormatan kepada sosok sejarah, tetapi juga ajakan serius untuk menyelami kembali pikiran-pikiran brilian Bung Karno yang tetap relevan di tengah tantangan bangsa hari ini.

Salah satu warisan intelektual Bung Karno yang paling penting dan aktual adalah gagasannya tentang politik ekonomi berdikari berdiri di atas kaki sendiri. Dalam pidato monumental Trisakti (1963), Bung Karno menegaskan bahwa kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya adalah tiga fondasi utama Indonesia merdeka.

Namun dalam kenyataannya, semangat berdikari yang dicita-citakan Bung Karno masih menghadapi tantangan besar. Struktur ekonomi Indonesia saat ini masih ditandai oleh ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah seperti nikel, batu bara, dan kelapa sawit. Banyak kekayaan alam nasional yang dikelola oleh perusahaan berskala besar, termasuk yang berafiliasi dengan modal asing, sementara kemampuan industri pengolahan dalam negeri masih memerlukan penguatan.

Di sinilah pentingnya mewujudkan visi kemandirian yang hari ini juga digaungkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto melalui program hilirisasi industri, swasembada pangan dan energi, serta pembangunan ekonomi yang lebih berdaulat. Gagasan-gagasan ini memiliki irisan kuat dengan konsep berdikari yang sejak awal digagas Bung Karno: menjadikan Indonesia bangsa yang memproduksi, bukan sekadar mengekspor; yang berdaulat, bukan bergantung.

Bung Karno tidak menghendaki Indonesia menjadi negara yang hanya merdeka secara simbolis. Ia ingin bangsa ini membangun ekonomi yang berpihak pada rakyat, pada buruh, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil. Bagi Bung Karno, revolusi belum selesai selama rakyat masih miskin dan tertindas.

Untuk para akademisi, Bung Karno memberi pesan tegas bahwa kampus tidak boleh menjadi menara gading, tetapi harus menjadi menara api tempat lahirnya pemikiran yang menyala untuk membakar semangat keadilan sosial. Ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh diam terhadap ketimpangan sosial. Intelektual sejati menurut Bung Karno adalah mereka yang mampu menjembatani antara teori dan kenyataan, serta menjadikan ilmunya sebagai alat perjuangan. Pendidikan, katanya, bukan hanya untuk mencerdaskan, tetapi juga untuk membebaskan dan memerdekakan. Maka tugas akademisi hari ini adalah menyuarakan kebenaran, melawan pembodohan struktural, dan memihak pada keadilan.

Kepada para politisi, Bung Karno mengingatkan bahwa politik sejati bukan sekadar seni mengelola kekuasaan, tetapi seni memperjuangkan nasib rakyat. Dalam banyak pidatonya, ia menekankan: “Politik tanpa moral adalah bencana.”Kekuasaan, jika tidak dibarengi dengan nurani dan keberpihakan kepada wong cilik, hanya akan melanggengkan ketimpangan dan menjauh dari semangat Proklamasi. Bung Karno menggambarkan politisi ideal sebagai pejuang ideologis, bukan teknokrat yang kehilangan visi. Maka politisi hari ini harus kembali pada cita-cita dasar bernegara: menciptakan keadilan sosial, bukan sekadar mengejar elektabilitas.

Dan bagi para aktivis mahasiswa dan pemuda, Bung Karno tidak hanya menitipkan semangat perubahan, tetapi juga tugas sejarah. Dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1961, Bung Karno berkata: “Pemuda jangan hanya menjadi pemekik, tetapi menjadi pelaksana dari pada cita-cita.”

Artinya, Bung Karno menolak romantisme perjuangan tanpa arah. Ia ingin pemuda menjadi penyambung lidah rakyat, bukan sekadar penggema idealisme. Perjuangan pemuda, menurutnya, harus terorganisir, berakar pada realitas, dan berpihak kepada yang lemah.

Maka, tugas mahasiswa dan pemuda hari ini bukan sekadar turun ke jalan, tetapi juga turun ke akar persoalan bangsa: melawan kebodohan dengan pendidikan, melawan ketimpangan dengan solidaritas, dan melawan apatisme dengan keberanian berpikir dan bertindak. Inilah bentuk revolusi mental yang sesungguhnya.

Peringatan Haul Bung Karno ini seharusnya menjadi waktu perenungan: apakah politik hari ini masih mengabdi pada rakyat? Apakah ekonomi kita sungguh berpihak pada keadilan sosial? Apakah kita masih memiliki keberanian berpikir dan bertindak seperti Bung Karno?

Jika belum, maka memperingati Bung Karno tidak cukup dengan spanduk dan slogan. Kita harus membaca ulang ide-idenya, memperdebatkannya, dan yang paling penting menghidupkannya. Hanya dengan itu, cita-cita Indonesia merdeka akan tetap bernyawa.


Referensi:

  • Soekarno. (1963). Tahun Vivere Pericoloso: Pidato Trisakti.
  • Legge, J.D. (2001). Soekarno: A Political Biography.
  • Hatta & Soekarno (2004). Proklamasi dan Amanat Penderitaan Rakyat. Arsip Nasional RI.
  • CDC (2020), Hsu & Siwiec (2022), Hinman et al. (2014).
  • Pidato Kongres Pemuda Indonesia, 1961.

Mau dapatkan informasi terbaru yang menarik dari kami? Ikut WhatsApp Channel Berinti.id. Klik disini untuk gabung.

Foto Profil

Supandi Rahman

Dosen Ekonomi Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo. Aktif mengajar dan meneliti topik topik ketenagakerjaan, Islamic social finance dan pemberdayaan ekonomi umat.

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp