TikTok Logo X Logo
Logo
Hulonthalo

Di Daerah Mega Agropolitan, Hidup Masyarakat Tani Jumpalitan

Interview with microphones Yusuf salah satu petani jagung di Desa Saritani (Franco Bravo Dengo)

Sejak dahulu, masyarakat tani di sekitar hutan Suaka Margasatwa (SM) Nantu, Desa Saritani hidup berkelanjutan dengan pertanian subsisten dengan pangan lokal. Namun, ambisi Provinsi Gorontalo menjadi daerah mega agropolitan berbasis jagung membuat hidup mereka jumpalitan.

***

BERINTI.ID, Gorontalo - Musim panen mestinya jadi periode paling bahagia bagi para petani, tapi hal itu tidak berlaku untuk Yusuf Kusi (51). Dia dan sebagian besar petani jagung di Desa Saritani, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo memaknai periode panen sebagai hari yang biasa saja. Sebab, belakangan panen tidak menghasilkan apa-apa, dan tidak ada yang perlu dirayakan atas itu.

Puli (balik modal). Bahkan sering rugi,” keluh Yusuf.

Pagi itu, Selasa (15/10/2023), Yusuf kembali menanam setelah kemarau yang cukup panjang. Dia dan empat warga lain berbaris rapi, berjalan beriringan membuat lubang dan menabur bibit jagung. Tak hanya di kebun Yusuf, kebun-kebun di sekitar juga terlihat ramai dengan aktivitas tanam-menanam. Mulai dari orang tua, perempuan, dan anak-anak terlihat antusias di masa tanam ini. Musim hujan memang menjadi berkah bagi petani di manapun.

Di musim tanam, Desa Saritani terlihat lebih sibuk dan lebih hidup dari biasanya. Meskipun dalam beberapa tahun belakangan, kehidupan petani–khususnya petani skala kecil seperti Yusuf–justru jadi serba kekurangan. Tingginya biaya pengelolaan lahan pertanian jagung, adalah faktor yang memungkinkan kondisi yang dia dan ratusan petani Saritani lain alami.

Butuh modal besar, mulai dari biaya bibit, pupuk, pestisida, penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Belum lagi harga jagung yang belakangan makin labil merosot. Bagi dirinya, tidak ada jalan lain selain berhutang kepada tengkulak, kalau dalam istilah Gorontalo “Wanu jamobuli, jamo’otuli (kalau tidak berhutang, tidak bisa bertahan)”.

“Untuk satu hektar lahan itu butuh modal sembilan juta. Kalau panen bersih tanpa hama dan lain-lain, bisa dapat sebelas juta. Tapi empat bulan (tanam-panen) kita sudah banyak hutang untuk memenuhi kebutuhan. Jadi, panen sudah enggak ada hasil,” terang dia.

Yusuf termasuk dalam kontingen awal yang mendiami wilayah sekitar Suaka Margasatwa (SM) Nantu ini, tepatnya di dusun tangga dua, Desa Saritani. Kala itu, tahun 1990-an, kondisi di sini masih berupa hutan, dengan penduduk yang masih bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar dari mereka merupakan warga eksodus yang terusir oleh kedatangan PT. Pabrik Gula (PG) Gorontalo–lahan pertanian mereka diakuisisi oleh PT. PG secara sepihak. Mereka pun mencari lahan baru dan tersebar di sekitar hutan SM Nantu.

Sulitnya akses jalan, membuat desa ini terisolir dari perkampungan lain. Diceritakannya, waktu itu semua masyarakat di sini bertani dengan sistim subsisten: fokus pada usaha budidaya pangan untuk mereka sendiri dan keluarga. Ada beragam pangan lokal yang mereka tanam, di antaranya singkong, binde kiki (jagung lokal), sagu, dan paling banyak pale tuhelo (padi ladang). 

“Dulu senang, urusan makan tidak perlu pusing. Tinggal pergi ke ladang, petik, terus masak. Pengelolaannya juga tidak butuh biaya banyak, karena dulu kita juga saling bantu ketika mau menanam,” kata Yusuf.

Seiring berjalannya waktu, penduduk di Saritani mulai bertambah. Dan seiring dengan bertambahnya penduduk itu pula, banyak lahan-lahan pertanian jagung baru yang dibuka. Salah satu faktor yang melatarbelakangi itu ialah ketika Gorontalo, tahun 2003, mulai dicanangkan sebagai daerah mega agropolitan berbasis jagung. Petani dan masyarakat pada umumnya berbondong-bondong mulai dipaksa mewujudkan Gorontalo sebagai penghasil jagung terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.

Sebagai provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara di tahun 2001, Gorontalo memiliki banyak potensi untuk pengembangan daerah, salah satunya adalah bidang pertanian. Hal ini yang membuat Gubernur pertama Gorontalo saat itu, Fadel Muhammad, punya proyek ambisius untuk menjadikan Gorontalo sebagai daerah mega agropolitan. Namun, bukan agropolitan dengan beragam komoditas, ia mengkultuskan komoditas tunggal untuk proyek ambisius itu.

Pada Tahun 2003 luasan pertanian lahan kering di Provinsi Gorontalo 1.398 ha, tahun 2005 meningkat hingga 30.338 ha, dan pada Tahun 2010 mencapai 150.020 ha (Citra Landsat Tahun 2003, tahun 2005 dan BPS Tahun 2011). Tahun 2017, luas panen jagung di Gorontalo adalah 312.509 ha (BPS, 2017). Ini menunjukkan bagaimana pesatnya akselerasi proyek itu, sampai hari ini.

Beberapa tahun pertama program berjalan, Fadel mengklaim keberhasilannya mengangkat taraf hidup masyarakat Gorontalo. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (2009-2011) itu menyatakan terobosannya di bidang pertanian itu dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang naik haji.

“Indikator yang mudah untuk melihat kemajuan masyarakat ialah jumlah masyarakat Gorontalo yang naik haji. Jika dulu paling banyak hanya 200-300 orang calon jamaah haji asal Gorontalo per tahun namun pada musim haji tahun 2005 telah mencapai 1.000 orang," terang Fadel, dilansir ANTARA, tahun 2006.

Agropolitan berbasis jagung menjadi jualan politik Fadel selama ini. Namanya selalu ada di jajaran legislatif Gorontalo dari tahun ke tahun berkat identitas itu. Terkini, tahun 2003 kemarin, Wakil Ketua MPR-RI itu menawarkan proyek imajinatif lainnya dengan menjadikan Gorontalo sebagai lumbung pangan nasional.

"Waktu itu, Gorontalo sempat menghasilkan jagung hingga 1 juta ton. Melihat fakta itu, saya kemudian mengusulkan sebuah konsep besar Gorontalo menjadi lumbung pangan nasional," ujar Fadel, pada acara Sarasehan Kehumasan MPR yang mengusung tema sentral 'Gorontalo Menjadi Lumbung Pangan Nasional', di Ruang Madani, Kantor Bupati Gorontalo, Limboto, Gorontalo, Kamis (20/7/2023).

Di saat Gorontalo masih berkelit dengan kemiskinan ekstrem, mantan Gubernur dua periode tersebut ingin membuat Gorontalo jadi lumbung pangan untuk negara. Tahun 2024, angka kemiskinan untuk Provinsi Gorontalo berada pada angka 2,44%, masuk lima besar provinsi termiskin di Indonesia. Kontras dengan klaim Fadel yang katanya berhasil mensejahterakan masyarakat lewat konsep agropolitannya.

Bagi petani kecil seperti Yusuf, program agropolitan berbasis jagung seperti pinjaman online ilegal, yang menawarkan kemudahan di awal lalu mencekik dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Diceritakannya, lewat sosialisasi dan penyuluhan, awalnya petani diperkenalkan dengan bibit jagung hibrida beserta pupuk non organik yang gratis, disubsidi negara. Lalu perlahan-lahan ke-gratis-an itu hilang, biaya untuk modal tanam mulai naik, dan sampai hari ini mencekik batang leher petani.

Yusuf punya mimpi untuk keluar dari jerat pertanian model begini, namun dia tak punya kuasa lantaran masih ada banyak hutang yang harus dibayar ke tengkulak. Tak ada banyak pilihan selain lanjut menjadi sekadar alat produksi negara.

“Harus tetap menanam [jagung] untuk bayar utang,” katanya.

Ketahanan Pangan dan Gizi

Asap yang keluar dari sela-sela tipis sebuah rumah bergabung dengan kabut yang mengepung pemukiman di Dusun Banjari, Desa Saritani.  Pagi itu, Neli Hentuma (46) kebut-kebutan dengan matahari untuk menyiapkan makanan untuk penanaman jagung di kebun mereka. Sebagai petani perempuan, dia punya pekerjaan ganda: memasak di dapur dan menanam di kebun.

Kali itu dirinya memasak santan ikan cakalang fufu dengan sayur terong sebagai pendampingnya. Neli memasak besar, sebab selain untuk dia dan suami, ada petani-petani lain yang disewa untuk ikut menanam. Hal ini adalah upaya dia untuk memangkas pengeluaran. Jika dikasih makan, satu orang yang menanam dibayar 50 ribu rupiah untuk satu hari. Tanpa makanan, per orang bayarannya 60 hingga 75 ribu rupiah.

“Sekarang memang apa-apa harus uang. Tapi memang begitu karena harus cepat-cepat menanam, sudah hutang ke bos kan,” kata Neli.

Neli punya lahan seluas hampir satu hektar yang ditanami jagung hibrida. Sebelumnya, tahun 1990-an, di lahan yang sama, dia menanam pangan lokal seperti padi ponelo–salah satu jenis padi ladang–, umbi-umbian, dan sayur. Dia menggambarkan bagaimana cepatnya perubahan hidup mereka dalam hal pemenuhan pangan.

Dulu, kenang Neli, rasanya sangat gampang untuk sekadar makan. Di kebun sudah tersedia segala macam kebutuhan pangan, apalagi beras karena waktu itu mereka menanam padi ladang. Sekali panen, kebutuhan pokok untuk satu tahun sudah terpenuhi, sisanya dijual. Sekarang, untuk beras sehari-hari kita harus berusaha lebih, ujung-ujungnya berhutang.

“Kalau hanya untuk makan tinggal pilih makan nasi, ubi atau apa, tinggal pergi ke kebun. Sekarang, huh!” keluhnya.

Rata-rata masyarakat di Saritani punya lahan satu hektar. Tapi realitanya, mereka masih harus memenuhi kebutuhan pangan dari tanah orang lain (baca: beli beras, sayur dan rempah-rempah). Ini merupakan gambaran umum bagaimana masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia.

Indonesia masih berhadapan dengan permasalahan ketahanan pangan dan importasi pangan dalam skala besar. Mengacu pada Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index), Indonesia masih berada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Posisi tersebut menempatkan Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Selain itu, skor Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index) pada 2021, Indonesia masih menempati urutan ke-73 dari 116 negara dengan skor 18.0 yang memiliki tingkat kelaparan sedang.

Ketika beralih penuh untuk mendukung program agropolitan berbasis jagung, lahan pertaniannya diganti penuh dengan tanaman monokultur jagung. Pangan lokal hilang perlahan-lahan hilang, sebab semua tanahnya terpaksa harus ditanam jagung agar bisa punya hasil panen yang besar untuk menutupi pinjaman modal dan pinjaman lainnya.

“Karena modalnya besar jadi harus bagaimana caranya bisa panen banyak. Untuk makan sudah nanti dipikirkan,” ujar Neli.

Kesulitan pemenuhan pangan rumah tangga ini juga berdampak pada pemenuhan gizi, terutama pada anak. Beberapa tahun yang lalu, untuk pertama kalinya dalam lintas generasi keluarganya ada bayi yang lahir stunting, yakni cucunya sendiri. Desa Saritani memang menempati salah satu desa dengan jumlah kasus stunting tertinggi di Gorontalo.

Penanggung Jawab Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Puskesmas Saritani, Yati Murdoto menyatakan bahwa masalah pemenuhan gizi yang tak seimbang memang menjadi masalah adanya kasus stunting di Desa Saritani. Hal itu, katanya, berkaitan dengan pola asuh atau pemahaman orangtua tentang makanan yang sesuai dengan umur bayi atau balita.

“Memang salah satu faktornya terkait ekonomi [orang tua] mereka. Masalah ekonomi sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak,” terang Yati.

Walaupun, lanjut Yati, asupan gizi itu sebenarnya bisa saja lewat bahan pangan lokal, tanaman-tanaman yang biasa mereka tanam di kebun mereka. Tapi lantaran masalah ekonomi, bahan-bahan pangan lokal yang bisa mereka olah itu akhirnya mereka jual. Selain itu, lantaran tuntutan ekonomi juga, akhirnya membuat mereka lebih sering bekerja dan bayi atau balitanya diajak bekerja, misalnya ketika bertani.

Untuk penanganan, pihak Puskesmas dan pemerintah desa sudah melakukan pemberian makanan tambahan dan multivitamin setiap hari ke rumah bayi dan balita yang didiagnosa stunting. Dan melakukan pemantauan berat badan dan pendampingan rutin.

“Sebenarnya dari dulu masalah gizi anak sudah kami intervensi, sebelum isu stunting mulai ada dalam beberapa tahun ini. Dari dulu masalah gizi anak sudah ada di Desa Saritani,” kata wanita yang sudah 13 tahun bertugas di Puskesmas Saritani tersebut.

Daya rusak program agropolitan berbasis jagung tidak hanya berdampak kepada petani, melainkan juga berdampak pada hilangnya pangan lokal, ketahanan pangan masyarakat, dan gizi anak-anak. Sama halnya seperti Yusuf, petani kecil seperti Neli sulit keluar dari jerat model pertanian ambisius yang diberlakukan negara, dalam hal ini pemerintah daerah Provinsi Gorontalo.

Ketua Pusat Ilmu Transdisiplin dan Keberlanjutan Institute Pertanian Bogor IPB (CTSS IPB), Prof. Damayanti Buchori menerangkan bahwa fenomena ini sangat ironis, mengingat di tengah program agropolitan, petani dan masyarakat justru menjadi korban karena hilanganya keragamanan pangan lokal.

“Ketahanan pangan yang meninggalkan keragaman pangan lokal bukanlah kebijakan yang paham akan kekuatan budaya Indonesia,” kata Damayanti.

Ketahanan pangan yg harus dibangun di indonesia, lanjut dia, justru harusnya berdasarkan keragaman pangan lokal dan paham akan konteks kepulauan, karena indonesia adalah negara kepulauan. Indonesia sudah dibagi menjadi delapan ekoregion, ini yang tidak muncul dan harusnya digali kembali.

Penulis: Franco Bravo Dengo


Mau dapatkan informasi terbaru yang menarik dari kami? Ikut WhatsApp Channel Berinti.id. Klik disini untuk gabung.

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp