BERINTI.ID, Gorontalo - Belum lama ini kebijakan cukup kontroversial yang dikeluarkan oleh Bupati Gorontalo menyedot perhatian masyarakat luas. Kebijakan tersebut berupa surat edaran yang ditujukan kepada pimpinan kecamatan, kelurahan, serta kepala desa se Kabupaten Gorontalo. Edaran ini tentang larangan kegiatan keramaian, hiburan rakyat, hajatan pesta yang melibatkan waria, biduan, alkohol, narkoba, dan judi.
Memang akhir-akhir ini ‘sedang populer’ perbincangan khalayak media sosial mengenai waria yang sering mempertontonkan aksi panggung pada sebuah acara publik. Namun, biduan, dan alkohol justru tampil lebih berani karena sejak dulu dua hal ini tak pernah benar-benar dapat teratasi sehingga terkadang sudah terdengar biasa di telinga masyarakat. Lain lagi dengan narkoba dan judi lebih sering tertutup dan punya momen-momen sendiri untuk viral, misalnya saat terjadi operasi penangkapan pada suatu wilayah.
Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa biduan, alkohol, narkoba, dan judi hanyalah isu turunan, dan larangan aktivitas waria adalah isu sentralnya. Hal tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang pro membenarkan kebijakan tersebut dengan dalih perilaku tidak sesuai norma dan marwah daerah, bahkan acap kali dibumbui dengan pendapat agama, sedangkan pihak yang kontra kebanyakan kecewa dengan kebijakan tersebut yang dinilai diskriminatif dan tidak mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
Bedah dua sisi
Saya ingin mengajak kita semua untuk membedah dua sisi pendapat yang timbul akibat kebijakan ini. Memang benar, marwah daerah sangat penting untuk menunjang rasa percaya diri masyarakat. Kehadiran konten atraksi waria yang vulgar juga tidak sesuai norma dan falsafah Gorontalo: Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah. Selain itu, berbagai sisi negatif juga menjadi alasan, salah satunya ketika konten tersebut tidak sengaja dikonsumsi oleh anak di bawah umur. Lebih diperkuat lagi dengan pendapat agama yang jelas sekali bersifat dogmatis dan tak bisa diperdebatkan jika tak punya dalil bantahan yang sama kuatnya. Kalau pun kamu punya pendapat, orang akan ramai menelusuri latar belakang pendidikanmu. Jika berpendidikan dikatai sesat, jika tidak, kamu akan jadi bakal di-bully habis-habisan.
Beralih pada sisi seberang, tak sedikit pula yang berpendapat bahwa kemanusiaan lebih penting. Itu sebabnya kebijakan yang dibuat adalah bentuk diskriminasi pemerintah terhadap kelompok marginal bahkan ada yang berpendapat kebijakan tersebut tidak manusiawi. Pemerintah seakan mengabaikan hak orang untuk bekerja, menghibur, dan mencari nafkah. Toh, juga banyak orang menikmatinya. Waria juga manusia dan tidak boleh seorangpun manusia mengolok-olok manusia lainnya.
Pada posisi ini, memilih keberpihakan antara pro dan kontra bukanlah yang utama bagi pemerintah. Namun sebagai pemimpin akan lebih bijak jika pengambilan keputusan atas sebuah masalah dibarengi juga dengan solusi. Saya tahu persis bahwa ini adalah isu yang sangat sensitif. Dua pendapat antara pro dan kontra adalah sama-sama bentuk ekspresi kepedulian masyarakat terhadap isu tersebut. Namun, mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan aktivitas waria adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada salah satu pendapat tanpa memerhatikan pendapat lain, serta bentuk pengabaian terhadap realitas sosial. Alih-alih hanya melarang, mengapa tidak menyertakan solusi terbaik bagi dua pihak ?
Fakta yang disepelehkan
Kita semua perlu tahu dan menyadari bahwa tidak seorangpun di dunia ini ingin hidup dengan kesan ‘belok’ dari yang seharusnya. Semua orang ingin hidup normal dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Melihat bagaimana pola kehidupan di Gorontalo, yang selama ini kita kenal sebagai Serambi Madinah, sangat menjunjung tinggi nilai dan norma yang lurus, harusnya tidak ada alasan bagi seseorang untuk jadi waria, kecuali karena dipaksa oleh keadaan.
Beberapa dari mereka merasa hanya itulah sumber pendapatan untuk menyambung hidup diri dan keluarga. Ditambah dengan tingkat pendidikan yang rendah, semakin kecil kemungkinan mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai standar yang orang lain inginkan. Beberapa lainnya merasa terbebani secara psikologis oleh pengalaman-pengalaman tidak mengenakan yang pernah terjadi dalam hidupnya, termasuk pelecehan seksual, pengabaian, dan tidak adanya penerimaan.
Sekalipun mereka berpendapat bahwa menjadi waria adalah ekspresi kebebasan personal, saya mengira itu adalah dalih, karena mereka hidup di Gorontalo, bukan di Thailand atau di beberapa negara bagian Amerika Serikat yang melegalkan hal-hal semacam itu. Artinya, masyarakat Gorontalo pasti paham dengan batas kewajaran di daerah tempatnya tinggal.
Sekarang pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pelarangan aktivitas waria, tapi apakah pemerintah menjamin kesejahteraan mereka setelah itu? Apakah setelah pemerintah menerapkan kebijakan tersebut dapat memperbaiki keadaan? Yang ada hanyalah hak orang untuk bekerja hilang, dan mereka tetap waria. Seolah ‘menyingkirkan masalah’ tanpa menyentuh ‘akar persoalan’, sebuah kebijakan harusnya mengedepankan prinsip keadilan, tidak terkecuali kepada mereka yang terpinggirkan, dan dianggap meleset dari batas kenormalan manusia. Pemerintah harus hadir memberi solusi.
Solusi yang aman dan bebas diskriminasi
Melihat fenomena yang pelik ini, mendirikan pusat pemberdayaan adalah sebuah inovasi yang adil bagi semua. Mungkin ini terdengar aneh dan mengada-ada, tapi ini adalah solusi yang paling konkrit menurut saya. Setelah para waria tak lagi beraktivitas di pesta hajatan, mereka diberdayakan, dan didampingi oleh pakar, misalnya dari Dinas Kesehatan dan psikolog yang akan membantu proses pemulihan dari trauma masa lalu untuk memastikan kesehatan mental, serta pendampingan untuk membangun kembali kepercayaan diri dan identitas diri yang positif.
Di tengah pendampingan, mereka bisa difasilitasi dengan pelatihan keterampilan alternatif seperti tata rias, menjahit, desain, dan digital marketing. Atau jika memang benar-benar serius, pemerintah bisa menghadirkan pendampingan usaha kecil atau akses pada pelatihan kerja-kerja formal. Tujuannya agar mereka tidak bergantung pada pekerjaan yang penuh risiko seperti hiburan malam atau kerja seksual yang sedikit banyak akan berdampak buruk pada generasi berikutnya.
Dengan begitu, pemerintah dapat mengatasi keresahan dan kekhawatiran tentang hadirnya waria pada hiburan malam dan pesta hajatan, tanpa harus bersikap diskriminatif pada kelompok rentan. Masyarakat umum merasa aman dengan kondisi daerah, dan kelompok waria juga merasa tidak dipinggirkan karena pemerintah tetap memperhatikan masa depan mereka setelah pembatasan hak-hak bekerja pada dunia hiburan.
Saran sebaik apapun tentu tak akan pernah terasa sempurna bagi mereka yang paling merasa ‘normal’. Namun, cobalah sampingkan ego terlalu normal itu dan coba lihat lebih dalam. Di kehidupan ini, bukan hanya dirimu yang boleh diperlakukan dengan layak. Setiap orang punya hak diperlakukan adil oleh negara, dan negara tak boleh absen memberikan ruang aman bagi setiap rakyatnya.
Sumarti Puspa Sari adalah Ketua Cabang PMII Kabupaten Gorontalo sekaligus mahasiswa Magister Administrasi Publik yang aktif pada isu sosial. Kini bekerja sebagai presenter pada salah satu media televisi swasta nasional.
Sumarti Puspa Sari
mahasiswa Magister Administrasi Publik yang aktif pada isu sosial. Kini ia bekerja sebagai presenter pada salah satu media televisi swasta nasional.