BERINTI.ID, Gorontalo - Di jalan-jalan kota, suara peluit, teriakan orator, dan iring-iringan buruh kembali menggema. Setiap 1 Mei, pemandangan ini seolah menjadi rutinitas nasional. Namun, yang patut kita renungkan bukan hanya keramaian aksi, tetapi substansi dari tuntutan mereka yang, dari tahun ke tahun, tak banyak berubah.
Tahun ini, dalam peringatan Hari Buruh Internasional 2025, para buruh menyuarakan enam tuntutan utama kepada pemerintah:
1. Penghapusan sistem outsourcing yang dinilai melemahkan posisi tawar pekerja.
2. Pemberian upah layak yang sesuai kebutuhan hidup layak dan berkeadilan.
3. Pembentukan Satgas PHK, untuk merespons lonjakan pemutusan hubungan kerja.
4. Pengesahan RUU Ketenagakerjaan baru yang tidak terikat omnibus law dan berpihak pada buruh.
5. Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) untuk menjamin hak pekerja domestik.
6. Pengesahan RUU Perampasan Aset, sebagai upaya pemberantasan korupsi yang struktural.
Enam poin ini bukan sekadar daftar keinginan. Ia merupakan refleksi nyata atas ketidakadilan struktural yang masih mengakar dalam sistem ekonomi kita. Di balik statistik pertumbuhan ekonomi dan laporan makro yang impresif, realitas hidup buruh tetap rapuh. Mereka adalah tulang punggung industri, namun juga yang paling mudah dikorbankan saat krisis.
Buruh: Pilar Ekonomi yang Masih Rentan
Di tengah kemajuan teknologi, globalisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang terus digaungkan, sebagian besar buruh Indonesia masih menghadapi tantangan hidup yang berat. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi tidak tetap, menerima upah minimum yang belum mencukupi kebutuhan dasar, dan belum terlindungi secara optimal oleh jaminan sosial.
Ini bukan semata-mata persoalan kebijakan, tetapi menunjukkan bahwa sistem ekonomi kita masih memiliki ruang yang luas untuk diperbaiki agar lebih adil dan manusiawi bagi semua pihak, terutama mereka yang berada di lapis bawah struktur ekonomi.
Islam dan Martabat Pekerja
Islam memandang pekerjaan sebagai bagian dari kehormatan dan ibadah. Dalam Al-Qur’an, kerja keras dan mencari rezeki yang halal disebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Firman-Nya:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
Ayat ini tidak hanya mendorong aktivitas ekonomi, tetapi juga menegaskan bahwa kerja merupakan bagian dari keterlibatan manusia dalam membangun peradaban di bumi. Islam tidak membedakan antara pekerjaan fisik maupun intelektual; semua memiliki nilai asalkan dilakukan dengan jujur, amanah, dan bertujuan baik.
Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya memperlakukan pekerja secara manusiawi. Salah satunya adalah sabda beliau:
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini mengandung pesan penting tentang kecepatan, kejelasan, dan keadilan dalam pemberian upah—sebuah prinsip yang, jika diterapkan dengan serius, akan menjadi fondasi sistem ketenagakerjaan yang lebih bermartabat. Islam tidak menoleransi praktik pengupahan yang lambat, tidak transparan, atau bersifat manipulatif.
Lebih dari itu, Islam juga menekankan hak psikologis dan sosial pekerja. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW disebutkan pernah menegur seseorang yang memanggil budaknya dengan nada merendahkan. Beliau bersabda:
“Mereka (pekerja/budak) adalah saudara kalian, yang Allah jadikan berada di bawah tanggung jawab kalian. Maka siapa yang saudaranya berada di bawah tanggungannya, hendaklah ia memberi mereka makan dari apa yang ia makan, memberi pakaian seperti yang ia pakai, dan tidak membebani mereka dengan apa yang tidak sanggup mereka kerjakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menyiratkan bahwa relasi kerja dalam Islam bukan relasi kuasa, tetapi relasi amanah—di mana pemberi kerja memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga kesejahteraan, martabat, dan batas kemampuan pekerjanya.
Di sinilah letak keunikan Islam: hak pekerja tidak semata ditentukan oleh kontrak hukum formal, tetapi juga oleh ikatan etis dan spiritual antara manusia sebagai sesama hamba Allah. Pekerja bukan hanya alat produksi, melainkan manusia merdeka yang memiliki hak untuk hidup sejahtera, dihormati, dan tidak dieksploitasi.
Ekonomi Syariah: Pilar Keadilan dalam Hubungan Kerja
Ekonomi syariah bukan sekadar sistem keuangan bebas riba, tetapi menawarkan kerangka moral dan struktural yang berpihak pada keadilan sosial. Ia menempatkan manusia sebagai subjek ekonomi, bukan sekadar alat produksi. Dalam konteks ketenagakerjaan, ekonomi syariah memberikan sejumlah pendekatan solutif:
1. Akad Ijarah: Kontrak Kerja yang Adil dan Transparan
Akad ijarah (sewa jasa) dalam Islam mensyaratkan kejelasan pekerjaan, durasi, imbalan, dan tanggung jawab. Islam menolak ketidakpastian (gharar) dan eksploitasi dalam relasi kerja. Prinsip ini sejalan dengan nilai “pekerjaan layak” yang diusung secara global, namun diperkuat oleh dimensi akuntabilitas spiritual.
2. Musyarakah dan Mudharabah: Model Kemitraan Produktif
Daripada sistem upah tetap yang kaku, Islam juga membuka ruang kerja berbasis kemitraan usaha. Dalam akad musyarakah atau mudharabah, pekerja dapat dilibatkan dalam pembagian keuntungan berdasarkan kontribusi nyata. Ini membangun rasa memiliki, memperkuat loyalitas, dan memperkecil ketimpangan antara pengusaha dan pekerja.
3. Koperasi Syariah dan Wakaf Produktif
Koperasi syariah adalah bentuk ekonomi kolektif yang memungkinkan buruh menjadi pelaku ekonomi, bukan hanya objek. Mereka dapat mengelola kebutuhan konsumsi, simpan pinjam, hingga membentuk unit produksi sendiri. Dana wakaf produktif juga bisa digunakan untuk membangun fasilitas yang mendukung kesejahteraan buruh, seperti rumah tinggal, layanan kesehatan, atau pelatihan kerja.
4. Zakat dan Dana Sosial Islam: Pemberdayaan Berbasis Komunitas
Dana zakat, infak, dan sedekah dapat diarahkan untuk program pemberdayaan pekerja: pelatihan, bantuan usaha, atau pembentukan unit usaha mikro. Ketika dikelola secara produktif, dana sosial Islam berpotensi besar mengangkat pekerja dari ketergantungan menuju kemandirian ekonomi.
Refleksi Hari Buruh: Membangun Sistem yang Lebih Adil
Hari Buruh adalah momen reflektif untuk mengevaluasi: sudahkah pertumbuhan ekonomi membawa manfaat bagi semua, terutama mereka yang paling berjasa menggerakkannya?
Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan telah mengambil sejumlah langkah untuk memperkuat sistem perlindungan ketenagakerjaan. Namun demikian, tantangan struktural masih ada, dan karena itulah ide-ide baru perlu dihadirkan. Ekonomi syariah, dengan nilai keadilan, tanggung jawab sosial, dan keberkahan, bisa menjadi pilar pelengkap dalam membangun sistem ekonomi nasional yang lebih manusiawi dan seimbang.
Kita tidak harus meninggalkan sistem yang ada, tetapi justru bisa memperkaya pendekatan pembangunan ekonomidengan prinsip-prinsip syariah yang holistik. Ini adalah saat yang tepat untuk memandang ekonomi syariah bukan sekadar sebagai pelengkap, tetapi sebagai mitra strategis dalam merancang sistem kerja yang lebih berkeadilan, inklusif, dan bermartabat.
Penulis adalah dosen Ekonomi Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo. Aktif mengajar dan meneliti topik-topik ketenagakerjaan, Islamic social finance dan pemberdayaan ekonomi umat. Menjalankan sebagian besar waktu harian sebagai masyarakat Perumahan Tirta Kencana, Hepuhulawa, Limboto.