BERINTI.ID, Gorontalo - Beberapa hari ini, saya sedang gandrung dengan lagu Mangu. Lagu ini memang tidak ditulis untuk saya yang sempat kesulitan menyatukan Alhamdulillah dan Puji Tuhan di meja makan. Namun, lirik-liriknya sangat pas dengan perasaan saya, warga Kabupaten Gorontalo, yang setiap hari harus berhadapan dengan tumpukan sampah di di pinggir jalan.
Warga Bercerita Sampahnya Tak Lagi di Jalur yang Sama
Pada verse pertama lagu Mangu dikatakan begini: Suatu malam Adam bercerita. Hawa-nya tak lagi di jalur yang sama. Bacaan dan doa yang mulai berbeda. Ego dan air mata kita bicara. Saya membaca ini sebagai simbol konflik dan rasa frustrasi kolektif warga yang memimpikan ruang publik bersih dan tertata, tapi malah menghadapi panas terik, bau sampah, dan kemacetan akibat TPS liar di mana-mana.
Saya punya beberapa contohnya. Misalnya di ruas jalan Kompleks Lapas Perempuan dan Anak Kelas III A Kabupaten Gorontalo. Sampah di situ menumpuk seperti antrean pasar murah, baunya menyengat, dan jelas terlihat sudah lama tak diangkut. Lokasi serupa tersebar di sekitar KPU Kabupaten Gorontalo, Perumahan di Hutuo, Jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), dan jembatan dekat Samsat Kabupaten Gorontalo.
Saya sendiri sering melihat langsung warga membuang sampah di TPS liar yang disebut tadi. Pernah ada seorang bapak dengan santainya keluar dari mobil, melihat kiri-kanan, dan woosshh beberapa kantong di tangannya mendarat tepat di samping papan bertuliskan: "Dilarang Buang Sampah di Sini." Mau ditegur, tidak enak. Dibiarkan, malah jadi kebiasaan.
Di tempat lain, seperti di sekitar RSUD Hasri Ainun Habibie, Hepuhulawa, dan salah satu perumahan di Hutuo, sampah-sampah yang entah dari mana datangnya menumpuk tak karuan. Emosi warga yang capek membersihkannya saban hari akhirnya meledak dalam bentuk aksi.
Tidak ada baliho, tak ada orator, apalagi bakar ban. Mereka cuma bawa parang, cangkul, dan serok. Jalan ditutup dengan tumpukan sampah sebagai simbol keputusasaan dari ulah sesama warga. Mereka seolah bilang: Kau menggenggam (sampah), kami menadahnya.
Situasi Gila, Tak Masuk Logika
Kita tahu Kabupaten Gorontalo merupakan daerah tertua di Provinsi Gorontalo. Namun, di usianya ke-351 tahun, daerah ini belum bisa mandiri dalam urusan sampah.
Produksi sampah di Kabupaten Gorontalo bisa mencapai 30 ton atau lebih per hari. Pada 2024, tercatat total 6.087 ton. Sayangnya, Dinas Lingkungan Hidup hanya memiliki tujuh armada aktif yang melayani lima dari total 19 kecamatan. Ya, hanya tujuh. Itu pun dengan rute tak efisien dan anggaran terbatas.
Parahnya lagi, TPS resmi justru dibiarkan mangkrak. Sampah organik dan non-organik bercampur. Warga yang frustasi karena baunya terpaksa menutup TPS tersebut. Inilah alasan mengapa TPS liar telah jadi pemandangan rutin bukan sinyal darurat sampah.
Anehnya, di tengah semua keterbatasan itu, pemerintah hanya bisa menyalahkan warga, hingga mengeluh kewalahan. Memang, menyalahkan ada benarnya. Tapi mari jujur, ketika TPS resmi minim dan pengangkutan tak berjalan, ke mana lagi warga harus membuang sampah?
Situasi ini begitu relevan dengan bagian chorus lagu Mangu: Gila, tak masuk logika. Termangu hatiku. Masa dengan umur daerah setua ini masalah yang sama tak pernah selesai dari tahun ke tahun? Ironi ini bukan lagi sekadar tumpukan sampah, tapi sudah seperti tumpukan monumen kegagalan yang berdiri kontras di samping delapan piala Adipura.
Kunci dari Semua Masalah Ini: Berdamai
William H. Whyte (1980) pernah menulis bahwa ruang publik bisa “diprogram” oleh kebiasaan manusia. Djajadiningrat (2019) memperjelas bahwa ketika suatu ruang diberi makna negatif oleh perilaku kolektif—misalnya membuang sampah— ruang itu akan terus-menerus “dilabeli” secara sosial sebagai tempat sampah.
Inilah yang terjadi di Kabupaten Gorontalo. Ketika satu titik dibiarkan jadi tempat buang sampah, lambat laun masyarakat menganggap itu sebagai “tempatnya”.
Dalam situasi seperti ini, lirik Mangu pada bagian verse 2: berdamai dengan apa yang terjadi, kunci dari semua masalah ini sangat pas untuk menggambarkan perasaan saya sekarang. Lalu apa yang mestinya dilakukan?
Menurut Djajadiningrat, untuk menghapus label sosial negatif satu ruang publik tidak cukup dengan sosialisasi, patroli, atau hukuman. Pemerintah bersama warga perlu mempertimbangkan langkah relabelling TPS liar yang ada. Bukan sekadar membersihkan, tapi memulihkan. Ditata ulang, ditanami pohon, dijadikan taman kecil atau jalur pedestrian.
Saya yakin dengan tampilan visual yang hidup, warga akan sadar bahwa tempat itu bukan untuk membuang sampah, tapi ruang hidup yang harus dijaga. Ini juga bisa memperkuat citra Kabupaten Gorontalo sebagai rest area di Provinsi Gorontalo, bukan?
Jangan Salahkan Fahamku Kini
Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi pernah berkelakar akan menyelesaikan masalah sampah dalam 99 hari kerja. Kenapa 99 hari bukan 100 hari? Karena katanya, satu hari sisanya milik Tuhan.
Untuk mewujudkan janjinya, Sofyan langsung menyiapkan tiga strategi: sayembara penanganan sampah dengan sistem reward dan sanksi, penambahan armada pengangkut, dan yang paling ambisius: menggandeng investor untuk mengubah sampah menjadi listrik.
Bagi saya, itu semua sah-sah saja. Optimisme memang diperlukan di awal masa jabatan. Tapi kalau harus realistis, janji ini terdengar (maaf) tak masuk logika. Mengapa? Karena janji serupa pernah disampaikan oleh seorang profesor ahli lingkungan yang memimpin daerah ini satu dekade lalu. Jika sepuluh tahun saja gagal, bagaimana dengan 99 hari?
Ide relabelling TPS liar dan strategi Sofyan tadi sebagian besar ada dalam Perda Nomor 53 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi Kabupaten Gorontalo Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pertanyaannya sekarang: apakah Sofyan benar-benar punya "nyali" melaksanakannya? Atau masalah sampah di daerah ini kalah menarik dengan masalah waria?
Ini sudah lewat hari ke-100, tapi wujud dari janji itu belum terlihat. Maka, jangan salahkan faham saya kini tertuju pada satu pertanda. Siapa yang tahu, siapa yang mau kalau ungkapan satu hari milik Tuhan itu berarti: ketika sampah di pinggir jalan tak bisa dibereskan oleh manusia, mungkin giliran Tuhan turun tangan: Mana nih, yang mau dibersihkan duluan? Kelakuanmu di sana atau sampah di seberangmu?
Akhir Kata
Kepada Mas Ari Lesmana dan Personel Fourtwnty:
Maaf saya menafsirkan lagu Mangu dari sudut pandang yang melenceng dari makna sebenarnya. Tulisan ini hanya refleksi pribadi yang mungkin sulit dicerna, tapi setidaknya saya menangkap rasa yang sama: kalau cinta bisa goyah karena beda kiblat, barangkali pengelolaan sampah pun bisa gagal karena beda cara pandang, dan beda tempat sampah.
Yakub M. Kau
Pura pura penulis.