Di momen Hari Media Sosial ini, saya mengajak kita untuk rehat sejenak sambil melihat ulang apakah media sosial kita hari ini telah kehilangan makna sosialnya atau bagaimana? Atau mungkin masih ada, tapi tertutupi oleh makna sensasional saja?
***
BERINTI.ID, Gorontalo - Boikot. Satu kata ini sempat ramai di linimasa media sosial, Facebook di Gorontalo bulan lalu. Unggahan demi unggahan menyerukan penolakan, disertai poster digital, potongan video, hingga tagar yang tertuju pada kelompok atau orang tertentu.
Pemicunya adalah konten salah satu waria yang mengenakan jilbab dan celana pendek. Kontennya dinilai melecehkan Islam. Akibatnya, kelompok waria diadili secara membabi buta. Hanya karena satu konten yang awalnya sekadar lucu-lucuan, mereka berubah menjadi musuh bersama. Ironisnya, para konten kreator yang sebelumnya ikut mendulang tenar dari interaksi dengan mereka, justru ikut menggaungkan tagar yang memperkuat seruan boikot.
Pemerintah pun mendadak responsif. Keluarlah surat edaran larangan waria tampil di ruang publik. Kelompok waria makin tersudutkan. Mereka tak lagi dibicarakan sebagai manusia, melainkan sebagai objek olok-olok dan ancaman. Kalimat-kalimat seperti “Kaum Sodom pantas lenyap di bumi Serambi Madinah Gorontalo,” atau “Kirim saja ke Israel biar jadi peluru uji coba,” mengisi kolom komentar.
Memang benar bahwa sebagian orang merasa terganggu ketika simbol agama digunakan dalam konteks yang dianggap tidak pantas. Namun, apakah setiap bentuk ketidaksukaan harus berujung pada persekusi digital dan penghakiman massal?
Terus terang, saya tidak yakin dengan apa sebenarnya yang sedang ditolak. Sebab, dari yang saya lihat, yang lebih mencolok justru nuansa sensasional dari kasus ini. Mungkin karena sensasionalnya itu, masalah ini seolah menjadi lebih penting ketimbang kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Gorontalo yang kian meresahkan, tapi jarang mendapat ruang di media sosial.
Yang Gampang Itu Bersikap Bodoh Amat, Mikirnya Susah
Kita semua tahu bahwa media sosial telah menjadi bagian penting dalam perjalanan peradaban manusia. Sejak era 90-an hingga sekarang, media sosial telah berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan fungsi.
Awalnya, media sosial datang mengetuk pintu peradaban dengan janji memperluas koneksi sosial. Tapi seiring waktu, ruang ini tumbuh menjadi arena yang jauh lebih kompleks. Ia memberi peluang besar bagi siapa saja untuk bersuara, tapi juga membuka celah bagi penyalahgunaan: hoaks, ujaran kebencian, pencitraan palsu, dan tekanan sosial yang mengintai diam-diam.
Sayangnya, terlalu banyak orang lebih memilih cara instan: asal komentar, asal unggah, asal ikut tren, tanpa pikir panjang. Yang mudah memang bersikap bodoh amat: berkomentar pedas, menyebar info mentah, menghakimi orang tanpa data. Namun, berpikir itu butuh waktu. Memilah informasi, memahami konteks, dan bersikap bijak di dunia maya itu susah—dan makin jarang dilakukan.
Media sosial hari ini telah menyita sebagian besar perhatian manusia. Segala sesuatu terasa harus diunggah: mau makan, harus posting; ada masalah sedikit, langsung curhat di status; muncul fenomena apa pun, buru-buru bikin konten agar ramai diklik. Kebiasaan ini memicu siklus yang tidak sehat: validasi dari dunia maya menjadi kebutuhan utama.
Lebih dari itu, media sosial juga melahirkan fenomena trial by social media atau pengadilan opini publik. Di sini, seseorang bisa diviralkan, dicap bersalah, dan dihakimi secara terbuka sebelum proses hukum berjalan. Prinsip dasar keadilan pun dilanggar: tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Bodoh amat dengan fakta, mikirnya nanti saja, yang penting traffic tinggi dan orang lain ketar-ketir.
Banyak contoh selain kasus waria di awal. Misalnya, unggahan-unggahan akun Instagram @gorontalokarlota. Saya pribadi salut dengan orang-orang di balik akun tersebut yang berani membuka ke publik kasus-kasus yang selama ini hanya tersimpan di komputer redaksi.
Namun, tidak semua unggahannya ideal. Ada juga konten yang justru merugikan pihak korban. Contohnya, saat mereka memuat kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya. Sayangnya, unggahan itu disertai foto pelaku secara terang-terangan dengan takarir provokatif. Padahal, publikasi wajah pelaku bisa memudahkan orang melacak identitas korban. Trauma korban bisa bertambah hanya karena satu klik.
Beberapa orang mungkin berpendapat: "Biar ditutupi bagaimana pun identitas pelaku atau korban akan terendus juga oleh netizen." Itu mungkin benar. Tapi sebagai pengelola media yang mengklaim berpihak pada korban, harusnya lebih bijak dan bertanggung jawab—terlebih jika korbannya adalah anak-anak.
FB Pro-blematik
Dalam lanskap media sosial sekarang, ruang penghakiman ini makin diperparah oleh hadirnya fitur FB Pro. Di FB Pro, konten adalah segalanya, dan segala-galanya adalah konten. Semua bisa viral, meski belum tentu vital. Tujuannya? Interaksi, jangkauan, dolar, dan status sebagai “suhu.”
Dalam kasus kelompok waria, banyak konten kreator FB Pro tampil bak penjaga moral Gorontalo. Mereka menunggangi isu demi algoritma. Yang dicari bukan kebenaran, tapi keuntungan.
Kawan saya sendiri bisa jadi contoh. Sebelum seruan boikot waria muncul, dia sering memakai konten mereka tanpa izin demi mendulang interaksi. Tapi saat arus berbalik, dia berubah haluan jadi polisi moral yang rajin menghakimi.
Lucunya, setiap unggahan yang menyudutkan waria selalu diselipi promosi bengkelnya di kolom komentar. Akun ramai sekalian jualan. Ironi zaman.
Bagaimana Menyikapinya?
Bagi saya, fenomena ini adalah manifestasi dari hilangnya separuh makna sosial dalam media sosial kita. Atau bisa jadi, nilai sosial itu tidak hilang, hanya sedang bersembunyi di balik konten-konten sensasional penuh kepentingan.
Apakah media sosial yang salah? Tentu tidak. Bukan salah platform-nya, apalagi pendirinya. Mana mungkin Mark Zuckerberg membayangkan realitas seaneh ini?
Untuk memperbaiki absurditas ini, kita tidak perlu ceramah panjang soal literasi digital. Yang kita perlukan adalah dasar falsafah hidup dalam ruang hidup kedua manusia ini. Maka saya iseng membuat konsep 'Pancasila Medsos'.
Tenang, ini bukan menyaingi Pancasila yang asli, apalagi menistakannya. Ini hanya ajakan sederhana agar kita punya pedoman moral sebelum menekan tombol publish.
'Pancasila' Medsos adalah cermin agar kita tak lupa: yang seharusnya menghidupkan sisi sosial dari media sosial adalah kita sendiri.
Pancasila Medsos
1. Konten yang Maha Segalanya
Saya dan kita semua butuh konten waras, bukan sekadar sensasi. Konten harus jadi kekuatan untuk perubahan.
2. Viral yang Adil dan Merata
Semua orang bisa viral. Tapi pastikan yang tersebar memang layak dikenal, bukan hanya layak dikutuk.
3. Persatuan Algoritma
Algoritma bisa mempertemukan kita, tapi nilai dan empati yang menyatukan kita.
4. Kebebasan Berpendapat yang Seluas-luasnya
Jangan kebablasan. Bebas berbicara, iya. Tapi jangan lupa berpikir dan bertanggung jawab.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Warganet
Baik yang follower-nya jutaan maupun yang cuma lima belas, semua punya hak untuk dihargai dan dilindungi.
Yakub M. Kau
Pura pura penulis.