Musim ini, Real Madrid kalah empat kali dari Barcelona. Seperti biasa, yang muncul bukan analisis, tapi jurus pamungkas: “Kami punya 15 trofi UCL.” Tapi sampai kapan Madridista harus berlindung di balik kejayaan masa lalu?
***
BERINTI.ID, Gorontalo - Pekan lalu Barcelona baru saja memenangkan El Clasico keempat mereka musim ini. Kemenangan ini bukan cuma soal tiga poin. Ini lebih dari sekadar pengakuan tak tertulis bahwa Barcelona—yang katanya pesakitan di kancah Eropa—adalah rajanya El Clasico musim ini.
Mungkin takdir sedang bercanda dengan Real Madrid. El Clasico yang biasanya hanya digelar dua kali semusim, muncul empat kali musim ini: dua di La Liga, satu di Supercopa, dan satu di Copa del Rey. Pemenangnya? Setiap kali peluit panjang berbunyi, nama pemenangnya selalu sama: Barcelona. Sementara Real Madrid cuma bisa kalah, kalah, kalah, dan kalah.
Ini rekap El Calsico bukan mengungkit luka, kok
El Clasico pertama musim ini terjadi di La Liga pada 27 Oktober 2024. Barcelona menang dengan skor telak 0-4. Empat gol kemenangan Blaugrana dicetak Lewandowski (54’,56’), Lamine Yamal (77’), dan Rapinha (84’).
Lanjut ke Supercopa, 13 Januari 2025. Mbappe sempat bikin gol cepat dan fans Madrid bersorak penuh harap. Namun, Barcelona kemudian mengamuk. Gol-gol dari Yamal, Lewandowski, Balde, dan brace dari Raphinha membungkam sorakan itu. Rodrygo sempat mencetak satu gol lagi untuk Real Madrid, tapi ya, seperti biasa, wasit mengakhiri semuanya dengan skor memalukan 2-5 untuk kemenangan Barcelona.
Setelah Supercopa, kedua tim bersua lagi di final Copa del Rey, 27 April 2025. Real Madrid main lumayan bagus. Skor 2-2 di waktu normal bikin misi balas dendam masih menyala. Namun, Jules Kounde datang sebagai mimpi buruk. Golnya di menit ke-116 memupus semua asa. Barcelona juara.
Terakhir di La Liga pekan ke-35, 11 Mei 2025. Mbappe sempat membawa Real Madrid unggul dua gol, tapi Barcelona tak kenal ampun. Eric García, Lamine Yamal, dan dua gol dari Raphinha menyudahi semuanya. Mbappe memang sempat cetak satu gol lagi, tapi skor akhir tetap 4-3 untuk BARCELONA. Real Madrid yang katanya raja comeback, malah jadi korban comeback.
Berkat empat kemenangan ini, Barcelona juga mencetak sejarah baru sebagai tim pertama yang bampu membobol gawang Real Madrid 16 gol dalam semusim. Sementara Real Madrid cuma bisa balas tujuh gol. Intinya, sejarah musim ini ditulis dengan tinta biru-merah.
Waktunya Madridista keluarkan jurus pamungkas
Fakta ini membuat Madridista sibuk bikin nota pembelaan di media sosial. Kalian sudah tahu apa maksud saya, kan? Yup, sudah kebiasaan Madridista selalu bawa-bawa 15 trofi UCL setelah tim kesayangannya kalah. Ini semacam ayat keselamatan dan pelindung harga diri dalam kitab suci Madridista dari gangguan Cules yang terkutuk.
“Susah kalahin trofi Madrid, apalagi sudah 15. Kalau nggak percaya tanya Bancilona yang berharap remontada lawan Inter. wkwkwk,” begitu kata kawan saya di grup WhatsApp.
"Gak papa, kalah santai. Musim ini kita lose. Biar aja yang lain dapat piala. Piala kita kan, sudah banyak. Kenapa sih, Madrid bahas-bahas, ungkit-ungkit pialanya yang sudah banyak? Ya, karena faktanya begitu. Tim-tim lain tidak pernah bahas pialanya karena pialanya tidak sebanyak Madrid," begitu kata komika Ali Akbar di reels Facebook-nya.
Tanpa perlu disenggol atau diajak debat, pembelaan macam ini akan muncul sendirinya. Tapi ya, sudahlah. Mungkin mereka belum sadar kalau 15 trofi itu tidak selamanya menyembuhkan luka. Apalagi kalau lukanya dibikin Barcelona. Atau mungkin mereka sadar, tapi tapi belum bisa menerima realita. Realita bahwa tim kesayangan mereka gagal juara.
Saya sendiri malah mengira 15 trofi UCL itu hanya angka agregat kekalahan Real Madrid dari Arsenal di perempat final UCL musim ini: 1-5.
Menjadi Madridista yang baik
Sebenarnya, saya sudah lama meninggalkan perdebatan tentang rivalitas Barcelona dan Real Madrid. Cuma kadang saya jengkel juga mendengar ada Madridista bawa-bawa masa lalu usai timnya kalah atau saat debat. Beruntung saya tak tertarik meladeninya. Saya anggap mereka sedang menghibur diri saja.
Sebagai fans Barcelona yang mencoba tetap rasional, saya justru mengakui 15 trofi UCL itu adalah sebuah pencapaian luar biasa. Faktanya, Barcelona belum sanggup berada di sana.
Seandainya jadi Madridista, saya akan berusaha jadi Madridista yang baik. Caranya dengan berhenti meromantisasi 15 gelar UCL itu. Mengapa? Sebab, membicarakan Real Madrid dengan 15 trofi UCL-nya ibarat membanggakan mantan pacar yang dulu pernah jadi juara dunia di bidang olahraga. Hebat, iya. Tapi sekarang? Cuma tinggal foto-foto lama untuk dipamerkan di tongkrongan.
Kalau kalah, ya kalah saja. Tidak usah mencari pembelaan dengan cara bawa-bawa pencapaian masa lalu. Empat kekalahan di El Clasico musim ini tidak akan membatalkan trofi Real Madrid yang banyak itu, kan?
Menjadi Madridista yang benar
15 gelar UCL memang banyak, tapi bukan segalanya. Mungkin ini yang tidak disadari Madridista. Makanya mereka lupa bahwa jumlah trofi tak otomatis membuktikan kualitas permainan hari ini. Apalagi kalau bicara soal gaya bermain, teknik, atau konsistensi. Madridista juga harus melihat realita bahwa 15 trofi UCL bukan bukti sahih Real Madrid sebagai tim yang hanya bisa dikalahkan lewat campur tangan Tuhan.
Madridista juga tidar sadar kalau terus-menerus mengungkit 15 trofi UCL, pembicaraan jadi stagnan dan kehilangan gairah karena selalu berakhir di satu titik: masa lalu. Padahal, sepak bola adalah olahraga yang bergerak, bukan album kenangan.
Saya juga khawatir semakin lama Madridista meromantisasi trofi lama, girah menonton pertandingan Real Madrid akan semakin memudar. Mengapa? Karena apa pun hasilnya, bentuk ekspresinya cuma satu: “Kami punya 15 trofi UCL.” Kalau seperti itu ujungnya, lalu apa sih, spesialnya menonton Real Madrid?
Sebagai salah satu basis suporter klub sepak bola terbanyak di dunia, Madridista harusnya menunjukkan ambisi masa depan demi kebangkitan tim kesayangan. Bersikap acceptance, bukan terus-terusan bersikap denial. Belajarlah dari fans Manchester United yang rasional. Tidak satu pun dari mereka menjadikan pencapaian tahun 1999 setan merah sebagai tameng debat kekinian. Mereka sadar kalau terlalu sering memuja masa lalu hanya akan terjebak dalam ilusi kejayaan.
Sekali lagi, 15 trofi UCL itu luar biasa. Tidak ada yang menyangkal. Barangkali sudah saatnya Madridista berhenti pura-pura tidur panjang. Mau sampai kapan kalian bersembunyi di balik 15 trofi UCL itu?
Jika tetap kukuh menggunakan itu sebagai jurus pamungkas, mendingan sekalian cetak kaos saja: “Kami kalah lagi, tapi kami punya 15 UCL”. Itu setidaknya menghasilkan cuan meski tak juara.
Yakub M. Kau
Pura pura penulis.