Sejumlah organisasi perempuan di Gorontalo kembali menyuarakan atas mandeknya penanganan berbagai kasus kekerasan. Mereka mendesak aparat penegak hukum bertindak cepat, berpihak pada korban, dan menghentikan praktik penyelesaian kasus yang dinilai lamban dan tidak sensitif gender.
***
BERINTI.ID, Gorontalo – Jaringan Advokasi Perempuan dan Anak (Jejak Puan) menggelar aksi damai bertema "Kekerasan pada Perempuan adalah Pelanggaran HAM" di depan Polda Gorontalo, Rabu, 10 Desember 2025.
Aksi ini menjadi puncak rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) yang setiap tahun digelar untuk menyerukan penghentian kekerasan berbasis gender.
Perwakilan Jejak Puan, Mega Mokoginta, menegaskan bahwa 16HAKTP bukan sekadar seremonial tahunan.
"Ini ruang untuk mengingatkan negara bahwa masih banyak perempuan Gorontalo yang menunggu keadilan. Kami hadir bukan hanya memperingati, tetapi menagih tanggung jawab negara," ujar Mega.
Perlu diketahui, sebanyak 12 lembaga bergabung dalam aksi tersebut. Mereka menyerukan solidaritas lintas organisasi dan menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan sistemik yang menuntut tanggung jawab negara.
Aksi ini juga menjadi kritik atas lambannya penanganan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan di Gorontalo.
Sejumlah kasus mencuat, mulai dari kasus femisida di Gentuma, kekerasan seksual yang melibatkan mantan Rektor UNUGO, kasus Wakasek SMA di Kabupaten Gorontalo, hingga dugaan kekerasan oleh mantan Praja IPDN yang dinilai tak ditangani secara tuntas dan masih sarat praktik tang seolah-olah menyalahkan korban.
"Target kami itu sebenarnya pemahaman terhadap masyarakat, bahwa peringatan 16 HAKTP ini bukan seremonial saja, tapi ini sebagai edukasi bahwa perempuan masih dibungkam haknya," tutur Mega menjelaskan.
Jejak Puan dan koalisi organisasi yang terlibat menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo, DPRD, serta aparat penegak hukum agar mengakui kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM yang wajib ditangani secara cepat, tidak diskriminatif, dan berperspektif teehadap korban.
Mereka juga meminta aparat yang lalai atau diskriminatif dalam penanganan kasus. Sehingga, perlu diberikan pelatihan bagi polisi, jaksa, dan hakim terkait penanganan kasus kekerasan berbasis gender.
Koalisi meminta setiap kasus kekerasan terhadap perempuan diusut tuntas tanpa impunitas, pelaku dijatuhi hukuman setimpal, dan korban memperoleh pemulihan serta kompensasi.
Mereka juga menolak praktik mediasi dan sering menyalahi korban. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
"Kasus kekerasan seksual di Gorontalo masih sangat banyak. Pemerintah dan kepolisian itu harus punya perspektif yang besar melihat kasus ini sebagai kasus kemanusiaan yang harus dikawal secara bersama," imbuh Mega.
Aksi damai itu diwarnai orasi, puisi, aksi teatrikal, hingga pertunjukan teater yang menyoroti kondisi kekerasan terhadap perempuan di Gorontalo.
Bentuk ekspresi itu menjadi simbol bahwa suara perempuan tidak lagi bisa diredam. Melainkan perlu dikawal dan kasus kekerasan harus dituntaskan.
Koalisi menutup aksinya dengan pernyataan bahwa selama kekerasan terhadap perempuan masih terjadi dan hukum belum berpihak pada korban, mereka akan terus bersuara dan bergerak.
Husnul Puhi
Berawal dari semangat menyuarakan kebenaran, Husnul Puhi terjun ke dunia jurnalistik sejak 2022 dan pernah berkarier di media nasional yang membentuk perspektifnya dalam menyampaikan informasi dan memperkuat tekadnya menjadi suara bagi publik.