Di bawah sengatan matahari, ratusan masyarakat tidak hanya dari pusat kota, tapi dari
beberapa daerah sekitar Teluk Tomini ramai memadati pesisir danau Limboto Desa Iluta,
Kecamatan Batudaa, Gorontalo.
Sebagiannya ada yang berdiri di atas perahu bertumpuk di danau. Angin bertiup kencang
siang itu mengibarkan bendera merah putih di perahu-perahu masyarakat dengan sempurna.
Masyarakat begitu antusias menunggu kedatangan Presiden Republik Indonesia pertama, Ir.
Soekarno. Meski sempat menerima kabar penundaan karena alasan kesehatan sang Presiden,
masyarakat akhirnya bisa menyaksikan wajah si Bung Besar dari dekat setelah pesawat
Catalina Amboina tumpangannya berhasil mendarat di danau Limboto, Selasa, 20 November
1951.
Kunjungan Soekarno ke Gorontalo merupakan bagian dari tour mempertahankan keutuhan
bangsa Indonesia akibat sejumlah pergolakan di wilayah timur Indonesia, era 1950-an.
Sebut saja pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sulawesi Selatan
yang didalangi Kahar Muzakkar, pemberontakan Andi Azis tanggal 5 April 1950 di
Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 25 April 1950 yang didalangi
Robert Steven Soumokil.
Tour ke samudra Timur Soekarno meliputi 11 daerah: Makassar, Ambon, Piru, Saparua,
Banda Neira, Tual, Manado, Ternate, Gorontalo, dan Poso selama 11 hari berturut-turut.
Dipilihnya Gorontalo sebagai daerah tujuan juga punya alasan istimewa. Secara historis,
Gorontalo memiliki peranan penting dalam pembentukan jiwa nasionalisme lewat gerakan
revolusi damai 23 Januari 1942 yang dianalogikan sebagai proklamasi kecil.
Peristiwa itu diprakarsai Nani Wartabone, sahabat Soekarno, yang kemudian diingat
masyarakat Gorontalo sebagai Hari Patriotik dan rutin memperingatinya setiap tahun.
Antusiasme warga dan begitu terorganisirnya acara penyambutan memberi kesan luar biasa
bagi Soekarno dan rombongan. Dari danau Limboto, Soekarno diarak menggunakan mobil
jeep menuju ibu kota.
Kemeriahan masih berlanjut, pekik kemerdekaan terus menggema di langit Gorontalo. Anak-
anak hingga orang dewasa, termasuk perempuan dengan tudung kepala atau dalam bahasa
setempat disebut Beleuto, terpecah di sisi kiri dan kanan jalan bersorai menyambut Presiden.
Rapat Raksasa dan Protes Komunitas Arab
Setelah tiba di pusat kota, Soekarno langsung memimpin rapat raksasa di alun-alun kota atau
yang sekarang lebih akrab disebut lapangan Taruna Remaja.
Dari beberapa catatan surat kabar yang dirangkum Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
Provinsi Gorontalo dalam buku digital berjudul Merajut Kebangsaan Samudra Timur
Indonesia: Kunjungan Presiden Ir.Soekarno di Gorontalo Tahun 1951 dan 1957, pidato
Soekarno saat itu mendapat protes dari komunitas Arab di Gorontalo. Protes itu bisa jadi
buntut dari rencana pendaftaran warga Negara Indonesia keturunan asing pada tahun 1951
yang mereka anggap sebuah perlakuan diskriminasi rasial.
Bukan hanya golongan Arab, warga keturunan Tionghoa juga merasa gelisah atas rencana
Kementerian dalam Negeri kala itu.
“Tidak ada diskriminasi rasial di Indonesia, begitu pula diskriminasi terhadap perempuan
juga tidak boleh dilakukan. Konstitusi Indonesia mengizinkan perempuan menjadi Presiden
dan memegang jabatan publik,” kata Soekarno menanggapi protes.
Usai memimpin rapat raksasa, Soekarno bersama Nani Wartabone menuju kediaman Residen
Koordinator Wartabone yang sekarang menjadi rumah dinas Wali Kota Gorontalo.
Malam tiba, dengan seragam khas kepresidenannya bergaya militer lengkap dengan peci
hitam sebagai mahkotanya, Soekarno duduk bersama warga pada malam kesenian di rumah
Residen Koordinator Wartabone.
Paham akan pribadi Soekarno yang senang kesenian, panitia mempersembahkan tarian adat
Tidi Lo Polopalo oleh perempuan-perempuan Gorontalo dalam balutan busana bersulam
benang emas dan hiasan kepala berwarna senada.
Pertunjukan semula berjalan sesuai rencana. Sejurus kemudian suasana berubah menjadi
kepanikan gara-gara listrik padam tiba-tiba. Soekarno menanggapinya dengan tenang dan
santai. Meski begitu, insiden tersebut mengakibatkan Kepala Perusahaan Negara untuk
Pembangkitan Tenaga Listrik atau PENUPETEL (sekarang PLN) saat itu ditangkap karena
dianggap telah menyabotase listrik.
Besoknya, Rabu, 21 November 1951, digelar rapat umum di gedung bioskop Ideal yang
berdiri sebelah Barat alun-alun kota.
Soekarno menyampaikan pidatonya. Pesan-pesannya sungguh berkesan di mata rakyat.
Seolah ingin mengobati rasa kecewa rakyatnya karena kunjungan sebelumnya (tahun 1950)
batal karena alasan kesehatan.
“Persatuan Indonesia dan Negara nasional yang tidak hanya mengenal kemakmuran tetapi
juga keadilan sosial: negara adil makmur. Indonesia atau lebih tepatnya orang Indonesia
harus menjaga kemakmuran sendiri. Kerja, kerja, kerja adalah semboyan. Negara akan
memastikan distribusi yang adil dari hasil kerja ini!” Begitu inti pidato Soekarno di bioskop
Ideal, tulis BPCB dalam bukunya yang diambil dan diterjemahkan dari kutipan artikel berita
Nieuwsgier tanggal 27 November 1951.
Pesan-pesan Soekarno saat itu menutup perjumpaan sang Presiden dengan rakyatnya. Setiba
sore, Soekarno meninggalkan Gorontalo lalu melanjutkan lawatannya ke Poso, Sulawesi
Tengah.
Rapat Raksasa dan Seruan Permesta
Enam tahun kemudian atau tahun 1957, muncul pergolakan yang menguji sejauh mana
nasionalisme telah tertanam di hati rakyat yakni pemberontakan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di
Sulawesi.
Dua daerah yang terapaut jarak puluhan ribu kilometer ini, ternyata bisa dekat dan sejalan
dalam politik karena jenuh dengan kebijakan dan pembangunan pemerintah pusat yang tidak
menguntungkan malah berkesan merugikan daerah-daerah, terutama bagi daerah penghasil
devisa. Gorontalo pun saat itu disebut-sebut sebagai basis Permesta.
Itu sebabnya, Soekarno harus mengulang kembali tour ke Timur samudra Sulawesi. Setelah
mengunjungi Makassar dan Manado, Soekarno terbang ke Gorontalo pada Selasa, 1 Oktober
1957.
Di bawah terik siang, tepatnya pukul 13.15, pesawat yang membawanya tiba di lapangan
udara Desa Tolotio, Kecamatan Isimu, Gorontalo.
“Di Isimu, dia (Soekarno) datang dengan 40 wartawan luar negeri, bukan hanya dari
Indonesia,” kata Thariq Modanggu (51), Wakil Bupati Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo,
ketika saya bertandang ke kantornya, Senin (12/7/2021).
Thariq memang tidak merasakan langsung panasnya kunjungan Soekarno dan membesarnya
pengaruh Permesta kala itu. Cerita itu dia dengar dari mendiang ayahnya, Zubair Modanggu,
yang saat itu berumur 29 tahun ikut ke jalan menyambut kedatangan Soekarno.
Dalam buku digitalnya, BPCB menceritakan bahwa kedatangan Soekarno yang kedua
disambut riak-riak pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan lebih meriah
dari sebelumnya.
Ribuan rakyat dan siswa Sekolah Rakyat berpakaian putih-putih berjejer sepanjang ruas jalan
Tolotio sampai Telaga. Mereka melambaikan bendera merah putih kecil yang terbuat dari
kertas dan ditempel kuat di lidi. Teriakan “Merdeka” pun memantul di jalan-jalan.
Begitu tiba di jembatan Limba-U, massa semakin padat, tanpa pengawalan militer yang ketat.
Tidak sedikit pula kelompok-kelompok pandu, kader-kader partai, dan organisasi pemuda
mengawal mobil Soekarno membelah kerumunan massa.
Semua yang hadir merasakan keharuan mendalam karena wibawa dan kehangatan dari sang
Presiden tatkala Soekarno membalas sambutan itu dengan lambaian tongkat komandonya.
Setelah menerima sambutan yang luar biasa, Soekarno memilih beristirahat sepanjang sore di
kamar utama rumah dinas Kepala Daerah Sulawesi Utara (sekarang rumah dinas Wali Kota
Gorontalo) sembari menanti jamuan malam. Kepala Daerah Sulawesi Utara di Gorontalo saat
itu, Syam Biya.
Keesokan harinya, Rabu, 2 Oktober 1957, Soekarno memimpin rapat umum (tertutup) di
Gedung Nasional. Sebelum berpidato, ia rupanya mencari Nani Wartabone yang ternyata
duduk paling belakang ruangan. Segera Soekarno memintanya pindah ke baris depan.
Sementara, di halaman rumah dinas Kepala Daerah Sulawesi Utara, rakyat sudah menunggu
rapat raksasa dimulai. Tidak lama kemudian, Soekarno naik podium.
Masih terang di ingatan Thariq, cerita ayahnya tentang bagaimana heroiknya seorang
Soekarno “menggulung” poster dan spanduk berisi seruan permesta hanya lewat pidato.
“Waktu di Gedung Nasional itu ayah saya juga ikut. Karena dia pendek, dia setengah mati
lihat Soekarno. Tapi yang dijelaskan, makin lama Soekarno berpidato makin banyak orang,
makin membludak. Di spanduk-spanduk tertulis ‘Sekali Permesta tetap Permesta’. Ada yang
lain ‘Hidup Mati Bersama Permesta’,” kata Thariq.
“Yang menarik kata ayah saya, pada saat berpidato, Soekarno bilang ‘Saudara-saudara
sekalian, saya datang sebagai seorang ayah untuk melihat anak-anaknya, maka pantaskah
anak-anak menjemput ayahnya dengan cara seperti ini? Gulung itu semua!’ Jadi Soekarno
bilang gulung, semua orang gulung (spanduk) sesuai tangannya berjalan. Itu pengalaman
yang luar biasa ayah saya,” kenang Thariq.
Setelah rapat raksasa bersih dari atribut Permesta, Soekarno melanjutkan pidatonya. Soekarno
menegaskan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan kepunyaan Bung Karno, bukan
kepunyaan Bung Hatta, bukan kepunyaan F.H Tobing, bukan pula kepunyaan Somba, tetapi
kepunyaan seluruh Bangsa Indonesia.
“Di manakah Ibu Kota Republik Indonesia?” tanya Soekarno dan dijawab rakyat dengan
suara bergemuruh, “Jakarta!” tulis BPCB dalam bukunya.
Waktu membatasi segalanya, tapi tidak semangat rakyat yang tersulut pidato Soekarno.
Ketika matahari berada tepat di atas kepala, siang itu juga si Bung Besar bertolak ke Manado.
Soekarno membawa hadiah khusus dari Gorontalo yaitu empat ekor burung Maleo.