Tulisan ini adalah opini saya pribadi. Ia lahir dari pandangan subjektif, namun berangkat dari fakta-fakta lapangan yang bisa kita baca bersama. Lengsernya Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan menandai akhir satu babak panjang dalam pengelolaan keuangan negara. Selama hampir dua dekade, ia dipuji sekaligus dikritik: dipandang sebagai simbol stabilitas fiskal, namun juga disorot karena utang negara yang kian membesar. Bagi sebagian kalangan ia adalah penjaga kredibilitas Indonesia di mata dunia, bagi yang lain, ia terlalu tunduk pada logika pasar global dan lembaga internasional.
Di bawah kepemimpinannya, APBN lebih transparan dan relatif terukur. Ia mendorong reformasi pajak, digitalisasi administrasi fiskal, dan membuka ruang partisipasi publik dalam memantau belanja negara. Keberaniannya tampak dalam dua hal:
Namun, kritik tidak sedikit. Beberapa kebijakan dianggap terlalu teknokratis, kurang berpihak pada rakyat kecil, bahkan kadang menyesuaikan diri dengan kepentingan investor global. Warisan Sri Mulyani, dengan demikian, adalah paradoks: disiplin fiskal yang lebih rapi, tetapi dengan bayangan utang yang masih menghantui.
Lengsernya Sri Mulyani juga menegaskan bahwa teknokrasi selalu berbatas pada politik. Disiplin fiskal yang ia jaga sering berbenturan dengan kebutuhan politik yang populis. Program besar yang berbiaya tinggi, dari subsidi energi hingga proyek populis terbaru yang memerlukan ruang fiskal lebih longgar. Dalam tarik-menarik ini, suara teknokrat sering kalah oleh logika kekuasaan.
Dalam momen ini, kita teringat pada integritas Mohammad Hatta. Hatta melihat keuangan negara bukan sekadar alat pembangunan, melainkan cermin moral bangsa. Baginya, utang adalah jalan terakhir karena menggadaikan kedaulatan. Ia wafat dengan kesederhanaan, bahkan tanpa meninggalkan kekayaan pribadi. Membandingkan Hatta dengan Sri Mulyani tentu berbeda konteks, Hatta hidup di era awal republik yang penuh idealisme, sementara Sri Mulyani berhadapan dengan arsitektur ekonomi global yang meniscayakan utang. Namun, ada benang merah: integritas fiskal dan keberanian melawan rente adalah nilai yang seharusnya diwarisi siapa pun yang menduduki kursi Menteri Keuangan.
Kini, beban ada di pundak menteri baru. Ia harus menjaga kepercayaan investor, menata pembiayaan utang yang terus menumpuk, memastikan belanja negara lebih tepat sasaran, dan menghadirkan kebijakan yang dirasakan langsung oleh rakyat kecil. Publik tentu berharap menteri baru bukan sekadar bendahara kekuasaan, tetapi figur yang mampu memadukan kalkulasi fiskal dengan keadilan sosial.
Dari Hatta kita belajar tentang arti integritas yang tak bisa digadaikan, dari Sri Mulyani kita belajar tentang pentingnya disiplin di tengah badai populisme. Pada akhirnya, APBN bukan sekadar deret angka, melainkan alat untuk membangun bangsa yang adil dan berdaulat. Pertanyaannya, apakah menteri baru berani melanjutkan warisan integritas itu? atau justru larut dalam logika politik jangka pendek?
Supandi Rahman
Dosen Ekonomi Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo. Aktif mengajar dan meneliti topik topik ketenagakerjaan, Islamic social finance dan pemberdayaan ekonomi umat.