TikTok Logo X Logo
Logo
Hulonthalo

Tiga Dugaan Pelanggaran Gubernur Gorontalo dan Disfungsi Etika Kekuasaan

$detailB['caption'] Madyatama SY. Failisa menilai Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail berpotensi melanggar hukum positif (Dok.Pribadi)

Oleh: Madyatama SY. Failisa 

BERINTI.ID, Gorontalo – Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, kembali menjadi pusat sorotan tajam akibat sejumlah tindakan kontroversialnya. Kritik tajam datam dari Walikota Gorontalo, Adhan Dambea. Polemik yang semula dianggap sebagai dinamika biasa antarapejabat daerah kini berkembang menjadi isu hukum serius dengan dugaan pelanggaran multidimensi—mulai dari administrasi negara, tata kelola pemerintahan, hingga integritas pejabat publik.

Ada tiga isu utama mencuat dalam konflik ini dan perlu diperhatikan serius.

Pertama, adalah sikap Gubernur yang tidak merespons dua permintaan resmi Pemerintah Kota Gorontalo terkait pengantar Uji Kompetensi Jabatan Tinggi ASN. Bagi saya, tindakan ini tidak sekadar mencederai etika birokrasi, tetapi juga memenuhi unsur maladministrasi, khususnya pengabaian kewajiban administratif, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta Peraturan Ombudsman RI No. 48 Tahun 2020.

Kedua, penyaluran bantuan sosial secara langsung oleh pemerintah provinsi ke warga Kota Gorontalo tanpa koordinasi formal dengan pemerintah kota. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, penyaluran bansos semestinya didasarkan pada sistem data terpadu yang dikelola bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Langkah sepihak ini bukan hanya melanggar prinsip koordinatif, tetapi juga rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik serta berisiko memicu ketidaktepatan sasaran penerima manfaat.

Ketiga, dan yang paling disorot publik, adalah dugaan nepotisme dalam pencalonan menantu Gubernur sebagai Komisaris Bank SulutGo (BSG), bank daerah yang mengelola dana publik dalam skala besar. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, POJK No. 55/2016 tentang Tata Kelola Bank, serta prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), posisi komisaris harus bebas dari afiliasi keluarga pejabat publik aktif. Rekomendasi langsung dari kepala daerah kepada lembaga keuangan publik tempat pemerintah menjadi pemilik saham dapat dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan struktural. Jika benar proses pencalonan komisaris tersebut pernah diusulkan secara administratif, gubernur berpotensi melanggar kode etik dan administratif. 

Padahal, jika menengok jauh ke belakang, Bung Karno pernah mengikhtiarkan tentang nepotisme kepada kita semua: "Kita hendak mendirikan satu negara semua buat semua. Bukan satu orang, bukan satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi semua buat semua!" 

Dalam konteks kebijakan publik dan hukum tata kelola, tiga persoalan ini mengindikasikan disfungsi koordinasi antarpemerintah daerah yang sistemik. Tak hanya memperlihatkan ketimpangan dalam distribusi kewenangan, tetapi juga mencerminkan melemahnya prinsip checks and balances dalam administrasi daerah. Keengganan gubernur untuk tidak merespon surat resmi pemkot, pembiaran struktur birokrasi yang tidak sinergis, hingga keputusan personal dalam pengusulan komisaris adalah indikasi dari lemahnya etika penyelenggara negara dalam sistem presidensial terdesentralisasi seperti Indonesia.

Dinas Kominfo Provinsi Gorontalo sempat menegaskan bahwa tidak ada persoalan pribadi antara Gusnar dan Adhan. Namun, publik menilai bahwa penegasan tersebut tidak cukup membantah substansi masalah hukum yang berkembang. Dalam banyak kasus di Indonesia, konflik administratif yang tidak ditangani secara hukum kerap berubah menjadi preseden buruk yang merusak tatanan otonomi daerah dan integritas ASN.

Oleh sebab itu, saya mendesak lembaga terkait seperti Ombudsman RI, Komisi ASN dan Kementerian Dalam Negeri untuk turun langsung menyelidiki dugaan maladministrasi dan hubungan koordinatif antara gubernur dan walikota terkait hal di atas.

Jika ini tidak diungkap dan ditindak secara terbuka, akan muncul kesan bahwa hukum tidak berlaku untuk elit pemerintahan daerah. Hukum hanya seperti jaring laba-laba yang cuma bisa menjaring serangga-serangga kecil. Kita butuh kepastian hukum, bukan klarifikasi politik.

Penulis adalah mahasiswa magister hukum yang lumayan aktif pada isu lingkungan dan sosial. Sampai sekarang masih aktif dalam organisasi mapala reksawana.


Mau dapatkan informasi terbaru yang menarik dari kami? Ikut WhatsApp Channel Berinti.id. Klik disini untuk gabung.

Foto Profil

Admin

×

Search

WhatsApp Icon Channel WhatsApp