Webinar Nasional yang digelar IAIN SMART menyoroti pentingnya advokasi difabel berbasis nilai-nilai Qur’ani, dengan menekankan pendekatan humanis, inklusif, dan berkeadilan dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, baik di ruang keagamaan maupun kebijakan publik.
***
BERINTI.ID, Gorontalo - Wacana humanisme Qur’ani kembali mengemuka dalam diskursus akademik ketika sejumlah akademisi, aktivis, dan praktisi membahas advokasi difabel melalui sebuah webinar nasional yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting.
Forum ini menegaskan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas bukan sekadar isu sosial, tetapi bagian dari tanggung jawab moral keagamaan dan konstitusional.
Webinar tersebut digelar oleh tiga jurusan IAIN SMART, yakni Jurusan Pemikiran Politik Islam, Jurusan Ilmu Qur’an dan Tafsir dan Jurusan Hukum Keluarga Islam.
Webinar dibuka oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Andi M. Jufri. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa advokasi difabel harus ditempatkan dalam kerangka politik akomodatif, sebuah paradigma politik yang inklusif, responsif, dan berkeadilan.
"Advokasi difabel bukan hanya wacana empati. Ini adalah kewajiban moral keagamaan dan tanggung jawab negara. Difabel harus dihadirkan secara sadar dalam perumusan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan publik," kata Andi.
Sementara, dari sisi perspektif teologis disampaikan oleh Ida Zulfiya. Dirinya menyoroti pesan kuat dalam Surat Abasa.
Menurut dia, ayat tersebut menjadi pengingat bahwa Islam menolak segala bentuk diskriminasi, termasuk terhadap penyandang disabilitas.
"Pesan Al-Quran jelas. Kita tidak boleh berhenti pada empati atau retorika. Harus ada aksi nyata, terutama dalam pemenuhan aksesibilitas dan hak-hak keagamaan difabel," ujar Ida menjelaskan.
Sementara itu, Arifa Milati Agustina menegaskan terkait tantangan kultural dan teologis yang masih dibayangi isu disabilitas.
Ia menyebut masih terdapat pandangan lama yang memaknai disabilitas sebagai azab, dosa, atau cobaan berat.
"Ini terjadi karena minimnya literatur tafsir dan fikih yang secara khusus membahas disabilitas. Akibatnya, pemahaman keagamaan sering kali tidak ramah difabel," kata Arifa.
Dalam webinar nasional itu, Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Hendra Yasin, turut menyoroti persoalan representasi difabel dalam struktur pemerintahan.
Dirinya menyebut, data menunjukkan jumlah penyandang disabilitas yang terserap dalam birokrasi masih di bawah dua persen, sekitar 6.661 orang.
"Secara teoritis, kebijakan akan lebih adil jika pembuat kebijakan memiliki kemiripan sosial dengan yang diwakili. Jika ingin kebijakan ramah difabel, maka difabel harus dilibatkan," tutur Hendra.
Ia juga bahkan mengkritik pelaksanaan webinar tersebut karena belum sepenuhnya aksesibel, seperti absennya juru bahasa isyarat.
Kemudian, dari sisi tafsir Al-Quran, Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Azwar, mengajak publik untuk lebih menghargai budaya komunitas tuli.
Menurut dia, bahasa isyarat bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bagian dari identitas yang harus diakui dan dihormati.
"Jika ingin masuk ke dunia teman-teman tuli, maka bahasa isyarat adalah pintu utamanya. Menghargai bahasa mereka berarti menghargai kemanusiaan mereka," timpal Azwar.
Webinar ini menegaskan bahwa humanisme Qurani tidak berhenti pada teks, melainkan menuntut keberpihakan nyata.
Advokasi difabel, dalam perspektif ini, menjadi cermin sejauh mana nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan benar-benar dihadirkan dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Admin